Dok. Google

Aku terdiam menatap hiruk-pikuk suasana terminal. Sejujurnya, aku masih tidak percaya bahwa pada akhirnya aku akan kembali menginjakkan kaki di kota ini. Kota yang telah kutinggalkan bertahun lamanya. Kota yang membuatku membenci dunia. Kota yang membuatku membenci diriku melebihi segalanya. Kota yang aku kira menyimpan banyak luka. Ya, Semarang. Venetie van Java.
Sejak usiaku dua belas, aku selalu bilang pada ibuk bahwa aku ingin pergi. Sejauh mungkin.
Nduk, kamu tau? Mencintai tanah kelahiran itu juga termasuk sunnah rasul, lho. Di sini kan juga enak nanti deket sama dulur-dulur. Ibu bapak juga enak nanti kalau mau nyambangin kamu”. Ucap ibu suatu malam saat aku bilang ingin meninggalkan Semarang. 
Saat itu, hingga bertahun lamanya aku pikir ibu tidak mengerti. Ibu tidak mengerti betapa sakitnya aku tertolak oleh lingkungan hanya karena aku berbeda. Aku juga tidak pernah mengerti jalan pikiran ibu saat itu. Bagi ibu, aku tidak berbeda, aku hanya istimewa.
Aku pikir saat itu ibu berbohong. Aku tidak istimewa. Karena pada kenyataannya, bagi orang-orang di negeri ini menjadi berbeda itu seperti sebuah kutukan. Menjadi berbeda itu salah. Karenanya, selama ini aku hidup dengan berpura-pura. Entah menjelma menjadi siapa, aku sudah kehilangan diriku sejak lama.
Saat usiaku delapan belas, aku pernah berdebat hebat dengan ibu. Saat itu, aku baru saja lulus dari pendidikan menengah atas. Aku bersikeras melanjutkan pendidikan di luar kota, sementara ibuk tidak mengizinkan hanya karena aku anak perempuan. 
Bapak hanya diam, meski sebenarnya bapak paham betul keinginanku. Aku ingin pergi sesegera mungkin. Aku ingin memulai hidup di lingkungan yang baru, tidak lagi dengan para tetangga yang menyebalkan itu, tidak lagi dengan orang-orang yang memaksaku untuk menjadi sama dengan mereka. Oh iya, di sini aku tidak akan menyebutkan apa itu ‘berbeda’ yang ku maksud. Aku malu, aku takut.
“Ya sudah kalau memang itu pilihanmu nduk, ibu akan mendoakanmu dari sini saja, kamu baik-baik ya, di kota orang. Temukan kehidupan yang kamu mau, nduk”. Kata ibu pelan. Aku tau ibu masih berat melepaskan anak perempuannya pergi.
Mbak, monggo, selamat menikmati”. Kata ibu berbaju coklat sesaat sebelum melangkah pergi kembali ke dapur. Tak terasa, sudah hampir genap tiga puluh menit aku duduk di warung kecil bertuliskan ‘Warung Bu Hadi’ sembari mengenang masa-masa jauh sebelum hari ini.
Aku diam menatap kepulan asap dari semangkuk indomie di hadapanku. Ingatanku kembali pada dua puluh dua jam sebelum ini. Saat itu aku sedang asyik dalam dunia maya, lalu tiba-tiba sebuah postingan dari seorang teman berhasil menggetarkan hatiku. Sebuah postingan singkat bertuliskan "Berikan nasihat pada kami tentang birrul walidain". Ya, mengingatkanku kepada ibu dan bapak. Selanjutnya tertulis bahwa mungkin mereka baru akan terasa berharga saat tak ada lagi suara mereka di rumah. Kamu ingin menelpon, tapi yang tersisa hanya kontak mereka. Tak ada lagi sapa, tak ada lagi tanya, "kamu sehat nak?", "kamu sudah makan?". Tak ada lagi yang membukakan pintu dan memelukmu dengan hangat. Tak ada lagi belaian lembutnya, tak ada lagi yang meneduhkan jiwamu, mengelap tangismu saat kamu jatuh terpuruk. Saat kamu masuk ke kamarnya yang kau temui hanya baju yang tampak tersusun rapi serta gelas kopi yang jarang atau bahkan tak pernah kau sentuh apalagi menyeduhkan untuknya. Dan episode terberatnya adalah kamu kehilangan pintu surga yang Tuhan titipkan di dunia untukmu.
Setelah membaca itu, saat itu juga aku memutuskan bahwa aku harus pulang. Sebelum semuanya terlambat, aku harus kembali. dan kau tau? Aku belajar banyak dalam perjalanan menuju pulang, bahwa sebenarnya tidak ada tempat yang benar-benar membawa luka, bahwa luka itu sebenarnya sementara, dan bahwa sebenarnya sebaik-baik tempat pulang adalah tanah kelahiran. Meski tidak sempurna, tanah kelahiran tetaplah rumah.
Dan untuk kamu, semoga setelah membaca ini kamu tau harus bagaimana. Pulanglah selagi sempat. Pulanglah sebelum terlambat. Berbaktilah selagi ada waktu, karena seperti apa kamu pada orang tuamu, begitulah anak-anakmu akan memperlakukanmu.
 
Penulis : Yasifa Qoriqotul Zulfa