Doc. Internet

"Assalamu'alaikum warahmatuLlahi wabarkatuH. Inna liLlahi wa inna ilaiHi raji'un..." Terdengar samar-samar suara megafon dari arah masjid kampung. Pengumuman orang meninggal biasanya memang dilakukan ketika subuh-subuh begini. Lek Jiman yang tidurnya kurang nyenyak sejak semalam tiba-tiba terbangun. Siapa yang meninggal lagi ini?, gerutunya dalam hati. Semenjak maraknya virus akhir-akhir ini, banyak orang yang tiba-tiba tutup usia.

"Telah meninggal salah satu warga kita yang tinggal di RW 05 RT 02, lebih tepatnya di sebelah timur musala, yaitu Mbah Sarijo pada usia 78 tahun. Rencananya beliau akan dimakamkan pukul 9 pagi ini. Sekali lagi saya sampaikan, telah meninggal..." Lek Jiman langsung menuju kamar mandi dan enggan menyimak pengumuman sampai selesai.

Sehabis sembahyang subuh dan menyelesaikan wirid paginya, dia berangkat ke warung Bu Tin yang tak begitu jauh dari rumahnya. Sampainya di sana, ternyata sudah ada Lek No dan Pak Malik yang duduk bersebelahan. Raut wajah dua orang itu tampak lumayan kusut seperti sedang memperbincangkan topik yang berat.

"Kopi hitam satu, Bu." Pesan Lek Jiman setelah membuka masker lalu duduk lesehan di depan mereka berdua. "Lagi bahas apa ini? Kok sepertinya serius." Ucapnya sambil tersenyum kecil.

"Tadi lho, Lek, warga kita ada yang meninggal lagi," kata Lek No yang merasa heran. "Pertama ada Mbah Samsul. Kemudian Pak Guntur kemudian selang sehari istrinya ternyata menyusul. Terakhir tadi malam itu Mbah Sar. Sudah empat hari berturut-turut selalu saja ada pengumuman orang meninggal di kampung kita." Imbuhnya masih dengan rasa tidak percaya.

"Mungkin memang sudah garisnya begitu, Lek. Yang meninggal tadi Mbah Sarijo, kan? Beliau juga kan sudah sepuh, jadi ya wajar saja. Bukan begitu, Pak?" Lempar Lek Jiman pada Pak Malik.

            "Mbah Sar memang sudah sepuh, Lek, tapi kondisi badan beliau itu terhitung kuat," ucap Pak Malik yang baru mengisap rokok putihannya dalam-dalam. "Bayangkan saja, di usia segitu beliau masih bisa ngarit(mencari rumput atau daun untuk pakan ternak)sampai sekarung dan memikulnya sendiri." Tambahnya masih dengan kepulan-kepulan asap yang keluar dari mulutnya.

"Benar juga. Lha Njenengan kok tidak mengajar, Pak? Apa sekolahnya libur?" Tanya Lek Jiman kepada guru SMA itu.

"Baru jam segini, Lek." Jawab Pak Malik tenang. "Nanti sebentar lagi saya pulang. Lagi pula mengajarnya juga daring, Lek."

"Oh, iya ya. Terus soal Mbah Sar tadi bagaimana, Pak?" Tanyanya lagi.

"Kabarnya keadaan beliau itu mulai drop sejak divaksin tiga hari lalu, Lek," tukas Pak Malik menerangkan kronologinya. "Pemerintah memang memprioritaskan vaksinasi untuk orang lanjut usia dan petugas pelayanan publik. Tapi waktu keadaan beliau menurun, Mbah Sar tidak mau dibawa ke rumah sakit; malah di rumah terus sampai akhirnya semalam itu dipanggil Gusti Allah."

"Silakan, Lek." Kata Bu Tin tiba-tiba sambil menyodorkan secangkir kopi yang tadi dipesan oleh Lek Jiman.

"Terima kasih, Bu." Sahut Lek Jiman sambil mulai menuangkan kopinya perlahan ke piring lepek.

"Kalau saja semalam Mbah Sar mau dibawa ke rumah sakit pasti akan beda cerita." Tutur Lek No mengandai-andai.

"Mau bagaimana lagi, Lek, memang sudah takdirnya diatur begini." Pak Malik mencoba realistis.

“Tapi di rumah sakit juga cukup rawan, Pak.” Lek No menyambung obrolan. “Khawatirnya kalau tidak diurus atau malah terjadi hal-hal yang kurang pantas. Soalnya beberapa hari lalu salah satu teman saya dirawat di rumah sakit. Saat berbaring di ranjang pasien, dia sengaja pura-pura tidur kemudian mendengar kalimat yang sangat tidak enak dari salah satu perawat di sana.”

“Tidak enak bagaimana maksudnya, Lek?” Pak Malik menyoal sebab penasaran.

“Perawatnya itu berujar begini, ‘Orang ini sudah diberi obat kok tidak mati-mati, sih?!’ Mendengar kata-kata begitu, teman saya langsung naik pitam dan minta untuk segera pulang malam itu juga.” Lek No bercerita seakan-akan dia yang mengalaminya sendiri.

“Wah, kalau itu sudah keterlaluan, Lek.” Tanggap Pak Malik. Lek Jiman hanya diam sambil tetap mendengarkan tetangganya itu bercerita.

"Soal vaksin tadi, Pak, saya juga sempat mendengar kabar kalau vaksinnya itu ada tiga macam." Ujar Lek No melanjutkan pembicaraan. "Ada yang memang benar-benar vaksin, ada yang cuma vitamin, sama satu lagi itu entah obat apa yang fungsinya membunuh orang pelan-pelan."

Lek Jiman masih diam sambil menyeruput kopinya dan mulai menyalakan rokok kretek yang dia beli kemarin.

"Itu sampeyan dapat kabar dari mana, Lek?" Tanya Pak Malik seperti menyanggah.

"Baca dari grup WhatsApp, Pak." Jawab Lek No dengan raut wajah yang masih serius.

"Harus diperiksa dulu sumbernya itu, Lek, jangan langsung serta-merta diterima. Masalahnya di masa pandemi seperti sekarang ini ada banyak sekali hoaks. Kita mesti pintar-pintar memilah informasi, Lek. Apalagi vaksin juga anjuran dari pemerintah, kan? Jadi saya yakin ini juga demi kebaikan kita bersama."

"Betul, Pak, saya setuju." Seloroh Lek Jiman yang sedari tadi hanya menyimak. "Dengarkan itu, Lek, jangan langsung percaya dengan berita yang asal-usulnya tidak jelas!”

"Tapi warga kita mulai banyak yang meninggal sejak santernya vaksinasi, lho." Jawab Lek No tetap bersikukuh dengan pendapatnya. Kali ini dia sembari memberi bukti sangkaan. "Ini tidak mungkin cuma kebetulan." Tambahnya.

"Iya, Lek. Meski begitu, jangan dilihat dari satu sisi saja. Yang meninggal memang banyak tapi yang masih hidup juga banyak, lebih banyak malah." Terang Pak Malik santai sambil mengetukkan rokoknya di asbak.

Lek No mulai bergeming.

“Kalau Mbah Samsul memang menderita sakit cukup lama, Lek. Kita semua sudah tahu itu. Kemudian beliau meninggal beberapa hari lalu.” Pak Malik memulai topik baru. “Yang kasihan malah Pak Guntur. Kata orang-orang, keadaannya mulai tidak karu-karuan sejak kena PHK dari tempat kerjanya. Mungkin karena itu dia jadi stres atau bagaimana. Tidak disangka ternyata kondisinya makin memburuk hingga akhirnya meninggal. Istrinya sepertinya juga kaget dan kepikiran hingga selang sehari dia menyusul Pak Guntur dipanggil Yang Mahakuasa. Kasihan anak-anak mereka, masih kecil-kecil.”

Lek No masih tetap bergeming dan sepertinya dia tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Mereka bertiga kemudian hanya saling diam sambil mengisap gulungan tembakau masing-masing yang hampir habis.

"Saya mau pulang dulu, Lek." Pak Malik tiba-tiba berpamitan sesaat sebelum beranjak. "Sebentar lagi sudah waktunya mengajar." Lanjutnya kemudian membayar kopinya.

Tak berselang lama, Lek Jiman menyeruput kopinya hingga hanya tersisa ampasnya lantas ikut pamit sementara Lek No tetap di sini. Dia masih ingin bersantai-santai katanya.

Setelah memberikan uangnya pada Bu Tin, Lek Jiman berjalan pelan menuju rumah sembari bergumam lirih, Mereka meninggal bukan karena virus atau vaksin; tapi karena tidak bisa bekerja dan akhirnya memilih mati saja.

Rembang, Agustus 2021.

Oleh: A. Zulfa Muntafa