Dok. Risma (LKaP)
 

Setelah bapaknya diberhentikan dari tempat bekerja, kini Abas harus bekerja paruh waktu untuk bisa membiayai kuliahnya sendiri dan membayar sewa indekos. Sudah beberapa tahun ia meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan pendidikan di ibu kota, mahasiswa tingkat akhir ini sekarang tengah bergelut dengan skripsi yang tak kunjung selesai. 

Setiap hari, ia membantu pak Diman menjual martabak dan kue bandung hingga tengah malam, biasanya ia mendapat upah setiap akhir pekan. Belakangan ini penjualan di toko pak Diman mengalami penurunan yang signifikan. Pandemi yang berkepanjangan memang sangat berdampak bagi para pelaku usaha, khususnya pelaku usaha kecil menengah. Beberapa karyawan di toko pak Diman sudah merasakan kembali pusingnya menganggur, hal ini terjadi di awal pandemi kemarin.

Malam minggu kemarin bisa jadi malam yang cukup dikenang oleh  Abas. Malam itu menjadi malam terakhir ia bekerja di toko pak Diman, penjualan yang semakin menurun membuat pak Diman terpaksa menutup tokonya. 

Selain itu, hubungan percintaannya dengan Ita yang juga teman kuliahnya harus berakhir. Ia diberi kabar oleh Ita sendiri kalau sebentar lagi dirinya akan menjadi istri laki-laki lain. 

Perasaan Abas semakin tidak karuan ketika mendapat kabar dari kampung kalau sakit ibunya sering kambuh. 
Kejadian demi kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini cukup menekan psikologisnya. Hatinya yang berdarah karena ditinggal menikah kekasih mungkin masih bisa ia tahan, tetapi kabar kesehatan ibunya yang semakin menua itu cukup membuat ia gamang.

Kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat di era pandemi membuat ia kesulitan untuk mendapatkan data penelitian guna menyelesaikan tugas akhirnya. Bimbingan online juga cukup menaikkan tekanan darah Abas, pasalnya seringkali pesan yang ia kirimkan kepada dosen pembimbing baru dijawab seminggu kemudian. 

Untuk sekedar melepaskan sejenak persoalan-persoalan hidupnya, ia memutuskan berjalan menyusuri jalan di sekitar indekos dengan memakai jaket lusuh dan celana yang sudah tiga hari tidak diganti. Di bawah remang cahaya lampu, ia melihat seorang pria tua yang memakai jaket ojek online duduk termenung di sisi jalan.

“Sendirian Pak?.”

“Eh, iya nih mas. Sampean mau ke mana?.”

“Cuma jalan-jalan, cari angin. Kok sepi begini ya Pak.”

“Iya mas, semenjak pandemi orderan juga ikut sepi. Terkadang sampai malam begini saya belum mendapat satu orderanpun.”

“Bapak sudah makan?.”
Dengan wajah tertunduk, pria tua itu berkata lirih.

“Belum mas.”

Abas yang merasa senasib mencoba sedikit memeluk keresahan pria tua itu. Ia mengajak pria tua itu ke warung kaki lima untuk mengisi perut, meski awalnya terlihat tak enak hati, pria tua itu akhirnya mau menerima tawaran Abas.

Keesokan harinya, ketika ia sedang mengerjakan tugas akhir tiba-tiba ada telepon masuk, setelah ia lihat ternyata telepon dari bapaknya.

Assalamualaikum Pak.”

Waalaikumussalam. Ngger, yang sabar ya.”

Raut wajah Abas seketika berubah, ia belum tahu pasti apa yang terjadi, namun dari nada bicara bapaknya ia sudah bisa menangkap bahwa telah terjadi sesuatu yang cukup berat.

“Ada apa Pak? Sabar Apa?.” Kata abas dengan suara gemetar.

Sejenak suasana hening, tak ada sepatah katapun yang terdengar dari bapaknya, hanya suara tangis tersedu yang keluar dari speaker gadgetnya.

“Ibumu telah berpulang ngger.”

Abas seperti tak percaya, ia hanya terdiam tanpa kata yang terucap. Tak terasa air mata telah membasahi pipinya dan gadgetnya jatuh terlepas dari genggaman tangannya yang seketika melemah. Kepulangan ibu sangat memukul perasaan Abas, selama berhari-hari ia merasa tak bersemangat hidup. Adanya kebijakan dari pemerintah yang membatasi aktivitas masyarakat membuat ia tak bisa pulang ke kampung halaman untuk melihat wajah ibu tercintanya untuk terakhir kali. 

Sudah hampir dua minggu ia hanya berdiam di dalam kamar indekosnya yang berantakan, rambut gondrongnya begitu acak-acakan dan matanya sembab karena menangis selama berhari-hari. Gadgetnya beberapa kali berdering ketika dosen pembimbingnya menelepon, ia sedang tidak tertarik untuk melakukan apapun termasuk menyelesaikan skripsinya.

Entah ada apa hari itu, Abas yang sudah hampir dua minggu hanya berdiam di dalam kamar indekosnya kini berjalan keluar dari pintu indekos. Masih dengan penampakan yang sama, ia berjalan menyusuri jalan tanpa tujuan pasti. Di bawah langit mendung ia berjalan sempoyongan, maklum saja sudah beberapa hari ia tidak bisa makan. Dengan keadaan ekonomi keluarganya yang sedang tidak baik ditambah lagi ibunya baru saja berpulang, ia merasa tidak enak hati jika harus meminta uang kepada bapaknya. 

Langkahnya terhenti di depan tong sampah di tepi jalan, ia mengais-ngais tong sampah tersebut. Dari arah kirinya ada seekor kucing kecil berbadan kurus dan berbulu kumal. Kucing itu terus mengeong dan mengusel kaki Abas, ia terus memandangi kucing kecil itu dengan iba. 

Setelah mendapat sejumlah makanan dari tong sampah, Abas jongkok dan mengelus-elus kepala kucing itu. Ketika ia melihat kucing kecil berbulu kumal itu, ia seakan melihat dirinya sendiri.

“Engkau pasti dibuang, kan? Aku tahu rasanya sendirian di kota sebesar ini, apa kau juga kehilangan ibumu? Hahahaha, bagaimana kalau kita berteman?.”

Air mulai jatuh dari gumpalan-gumpalan awan hitam, angin dingin berembus kencang menerpa dua badan yang menyedihkan itu. Abas berteduh di emperan toko yang sudah tutup sejak awal pandemi, sementara kucing kecil itu merasa hangat di pelukan Abas. Keduanya saling menatap, keduanya saling menghangatkan hati yang kedinginan.

Penulis : Muhammad Najwa Maulana
Editor : Risma