Dok. Google

Janji Manis Berakhir Tragis mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan nasib rakyat setelah berakhirnya pemilihan dalam pesta politik. Dalam dunia politik, kontestasi merupakan hal yang lumrah. Sehingga mengakibatkan banyak terjadi saling sikut, saling injak bahkan saling beradu kebolehan bersilat lidah di depan para pemilih maupun sukarelawan.

Tragis adalah yang akan didapat bagi yang masih percaya dengan kata-kata para politikus yang ulung maupun yang coro. Kecewa adalah garis finish dari perlombaan para sukarelawan polos yang mendukung mati-matian para elit maupun kader politik. 

Kalimat 'Saya akan... ' merupakan hal yang lumrah terdengar dari para calon ketua maupun perwakilan dalam pesta politik. Bahkan sudah seperti lirik wajib ketika akan melantunkan lagu bergenre politik. 

Ketika sebutan buaya disematkan kepada orang yang pandai gombal, ghosting, mempermainkan hati. Maka para calon Pemimpin ketika pesta politik berlangsung sangat layak mendapatkan julukan 'pemimpin para buaya' bahkan buaya sejati. 

Seperti yang banyak orang tahu bahwa buaya adalah hewan yang setia pada pasangannya dan hanya memiliki satu pasangan selama masa hidupnya. Maka akan kurang tepat ketika disematkan kepada para ahli bercinta tetapi akan lebih tepat di gelarkan kepada para calon ketika pesta politik berlangsung. Sama seperti buaya yang setia pada 1 pasangan dalam hidupnya, Mereka juga hanya setia pada satu tujuan dalam hidupnya yaitu jabatan. 

Janji akan memberi inilah, melakukan itulah, membuat inilah, membuat itulah ketika sudah terpilih hanya akan tetap janji saja. 

Hal ini bahkan pernah dilakukan salah satu presiden yang saat itu berkampanye pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu. Dilansir dari Kompas.com ketika itu ada seorang warga yang menagih janji di tengah hiruk pikuk suasana pembongkaran pemukiman di kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Dengan tangan bergetar perempuan itu menunjukkan kertas bertuliskan 'Kontrak Politik' kepada calon gubernur DKI Jakarta 2012-2017, di mana Ahok menjadi wakilnya.

Dalam kontrak bertanggal Sabtu 15 September 2012 itu, politikus berjanji akan melibatkan warga dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan penyusunan APBD dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program pembangunan kota.

Hal itu juga terjadi lagi ketika beliau terpilih menjadi presiden periode 2014-2019 seperti dilansir dari DW.com. Beliau ketika itu berjanji akan memperkuat KPK juga tertuang dalam Program Nawacita. 

Akan tetapi, pada kenyataanya di akhir masa jabatan beliau malah melemahkan KPK. Hal ini jelas terlihat dari mulusnya proses revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan lolosnya figur yang dinilai bermasalah menjadi Ketua KPK. 

Padahal jika saja presiden taat janji untuk memperkuat KPK maka rencana Revisi UU KPK bisa saja ditolak dan figur calon pimpinan KPK yang bermasalah kemudian dibatalkan.

Proses pelemahan KPK dimulai dari sikap presiden atas usulan revisi UU KPK dari DPR. Meski dinilai cacat secara prosedural dan mendapatkan penolakan dari akademisi, publik dan KPK, namun sepuluh partai politik sepakat untuk menyelesaikannya sebelum periode DPR berakhir.

Bukannya menolak, Presiden justru ikut mendukung dengan mengeluarkan surat presiden dan mengirimkan wakil pemerintah untuk ikut pembahasan bersama DPR. Persengkongkolan DPR dan Pemerintah kemudian menjadikan proses pembahasan revisi UU KPK berlangsung cepat, tertutup dan tidak melibatkan publik maupun KPK sebagai pihak yang berkepentingan.

Figur seorang pemimpin yang mengawetkan janjinya ketika pesta politik seperti hal yang sudah pasti terjadi di dunia perpolitikan. 
Lalu bagaimana seharusnya orang-orang yang bercita-cita akan terbitnya perubahan ketika ada pemimpin baru?

Jelas tanpa ada perdebatan yaitu harus melatih hati agar tetap kokoh walaupun ditimpa rasa kecewa dan tetaplah berharap akan datangnya mukjizat para politikus yang benar-benar menepati janjinya. Walau sampai Imam Mahdi turun.

Penulis : Wahyu