Ilustrasi previlege seorang mahasiswa: iStock  

Saya sependapat dengan Najwa Shihab yang mengatakan bahwa menjadi Mahasiswa merupakan sebuah privilege. Terus terang saja, selama saya menjadi mahasiswa ada rasa kebanggaan tersendiri yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Contoh kecilnya adalah ikut aksi demonstrasi menolak berbagai kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat. Tapi itu masih sebagian kecil saja, sebagian besarnya barangkali Anda yang membaca tulisan ini juga sudah merasakan.

Mengapa saya bangga menjadi mahasiswa? Tidak lain karena ia besar namanya. Terlebih pasca Reformasi 1998, sosok mahasiswa bak seorang pahlawan. Padahal yang menolak Reformasi bukan cuma elemen Mahasiswa. Ya, begitulah privilege seorang Mahasiswa, besar namanya, terkenal punya idealisme, dan memperjuangkan rakyat terkenal dengan sebutan Agen of Change dan Agen of Control Social.

Meski semua itu bisa dimiliki oleh seorang mahasiswa, tetapi sebagai Mahasiswa, saya sadar diri belum bisa apa-apa untuk masyarakat. Ilmu dan pengalaman saya masih amat kurang untuk bisa menjadi Agen of Change dan Agen of Control. Jangan dibandingkan dengan Soe Hok Gie, yang mati muda agar tidak kehilangan idealismenya. Rela diasingkan karena sering berbeda pendapat dengan teman-temannya. Soe Hok Gie cukuplah jadi sejarah yang diceritakan di warung-warung kopi. Bahwa Indonesia pernah mempunyai mahasiswa yang benar-benar berjuang untuk rakyat.

Kalau pun ada mahasiswa sekarang yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, saya mau acungi dua jempol. Karena menurut saya pribadi jarang sekali ada mahasiswa sekarang yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Banyak mahasiswa yang mengkhianati idealismenya sendiri sehingga marwah mahasiswa menjadi jelek. Di media sosial kampanye lawan penindasan, tolak ini, dan tolak itu. Eh, ujung-ujungnya masuk staf birokrasi. Ada juga beberapa yang cabul. Bukan aneh, idealisme mahasiswa bisa dihargai sepiring nasi saja. 

Jujur saja, saya tidak berkapasitas untuk itu. Mengkampanyekan anti kapitalisme, melawan kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat, dan lainnya. Saya bukan tipe mahasiswa yang suka disebut aktivis. Saya baca buku tidak pernah, sekali baca buku, tidak khatam, diskusi juga malas, kuliah keteteran, ikut organisasi juga tidak serius. Tapi saya masih bangga jadi mahasiswa. Bisa belanja pakaian bermerek, punya smartphone, bisa jalan-jalan ke tempat wisata, nonton konser, dan nongkrong di warung kopi membahas masa depan hingga larut pagi, lalu bangun kesiangan. Maka nikmat mana yang kau dustakan?

Saya menyadari bahwa suatu kemewahan mahasiswa sekarang bukanlah idealisme, namun berubah menjadi gaya hidup. Nampaknya gaya hidup menjadi hal yang pokok bagi mahasiswa milenial. Ke kampus harus menggunakan pakaian bermerek dan mengikuti tren yang berkembang, makan harus di restoran, nongkrong harus di coffe shop, pusing sedit harus liburan, atau mungkin kalau lagi bosen pergi nonton konser. Akhirnya yang terjadi taman-taman pojok kampus yang seharusnya dimanfaatkan untuk diskusi atau pun membahas tugas kuliah menjadi sepi. Entah pada kemana larinya. Memang benar, jualan Agen of Change dan Agen of Control di taman kampus sudah tidak laku. Barangkali yang menjual pun juga sudah tidak ada.

Pun ketika malam hari berkunjung ke kedai kopi, angkringan atau burjo, yang dijumpai ialah pemandangan mahasiswa yang punya segudang masalah dan secangkir kopi sebagai pelariannya. Sebagian mungkin ada juga yang asik bermain game online, ada yang jualan outfit, atau sekadar bertanya infone maszzeehhh?

Sebenarnya menjadi mahasiswa dengan tipologi apa pun tidak masalah. Mau menjadi mahasiswa yang kuliah pulang-kuliah pulang, kuliah rapat-kuliah rapat, atau pun kuliah-kerja-nangis. Tetapi bagaimana pun, mahasiswa punya privilege. Punya tanggung jawab dan kemewahan terakhirnya adalah idealisme. Idealisme yang harus tetap dijaga, jangan sampai tergadaikan oleh apa pun.

Terakhir, satu hal yang menjadi ketakutan bagi saya, bahwa suatu saat nanti saya kembali ke masyarakatlalu merasa menjadi orang asing berada ditengah-tengah masyarakat. Saya yang terbiasa dengan gemerlap lampu-lampu kota, lalu pulang ke desa merasa gelap gulita. Saya yang terbiasa begadang melihat orang berlalu-lalang hingga larut pagi, lalu pulang ke desa merasa sepi karena orang-orang sudah terlelap tidur dan esoknya harus bangun berkerja untuk makan tiap hari.

  

Penulis: Aji Firman

Editor: Agustin