Ilustrasi eksploitasi manusia: iStock |
Mahasiswa dianggap lebih "Dewasa" dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada siswa karena ada kata "Maha" di depan kata siswa. Bagi sebagian orang, mahasiswa dianggap berstatus tinggi dan berintelektual. Bahkan di suatu tempat tertentu, mahasiswa akan selalu dielu-elukan untuk menjadi agen perubahan negara dan bangsa ini. Mahasiswa biasanya dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir, serta perencanaannya dalam bertindak. Maka dari itu, berpikir kritis dan bertindak secara cepat serta tepat menjadi sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa.
Seorang mahasiswa biasanya berusia 18 hingga 25 tahun. Usia tersebut merupakan masa akhir dari remaja dan masa awal untuk fase dewasa. Fase dimana individu dapat memantapkan pendirian hidupnya dan semangat gelora perubahan sedang sangat membara dalam dirinya. Di lingkungan kampus, mahasiswa akan berperan sebagai masyarakat kampus yang tugas utamanya yaitu belajar, membaca buku yang relevan dengan materi perkuliahan, membuat makalah, presentasi, berdiskusi, hadir di sebuah seminar, dan kegiatan lain yang bercorak kekampusan. Selain itu, mahasiswa juga memiliki tugas lain yakni sebagai agen perubahan dan pengontrol sosial masyarakat. Nah, tugas inilah yang nantinya dapat menjadikan seorang mahasiswa sebagai harapan bangsa di masa depan kelak dengan mencari solusi dari berbagai masalah yang tengah dihadapi.
Masyarakat memberikan beban atau tanggung jawab tersebut, bukan tanpa alasan. Mahasiswa yang terkenal sebagai kaum intelektual muda yang membuat harapan masyarakat begitu besar kepada mahasiswa. Melihat sejarah bangsa Indonesia, kaum intelektual muda berperan penting atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka menjadi penggerak dan menyadarkan rakyat pribumi atas penindasan dari bangsa asing kala itu. Itulah peran yang harus diisi oleh mahasiswa sebagai kaum intelektual muda bangsa.
Meski memiliki tanggung jawab yang besar pada masyarakat, mahasiswa sekarang seperti kehilangan "Gelar" Mahanya. Mahasiswa sudah tidak ada bedanya dengan siswa yang menghabiskan waktunya dengan belajar formal, membuat PR, jajan dan bermain. Hal tersebut menjadi kesempatan bagi "Kaum penindas" untuk menindas bangsa dengan semua elemennya. Uniknya, kaum penindas saat ini bukan berasal dari bangsa asing tapi bangsa sendiri yang ingin memperkaya diri mereka sendiri dan mahasiswa tidak luput menjadi target penindasnya.
Segala bentuk usaha untuk menjaga marwah mahasiswa sebagai kaum intelektual muda bangsa sudah luntur, sehingga tidak ada benteng yang menghalangi kaum penindas. Menurut saya, masyarakat harus mencari alternatif pengganti untuk peran mahasiswa yang tidak bisa diemban lagi. Melihat mahasiswa yang semakin kesini semakin mudah untuk dieksploitasi oleh berbagai pihak. Mahasiswa dengan mudahnya dipengaruhi oleh kata-kata manis seperti: untuk kepentingan bersama, katanya dia harus gini , biar solid kita harus make ini, kita harusnya begini dan kata-kata lain yang berusaha mengagitasi mahasiswa agar eksploitasi kaum penindasnya berhasil. Uniknya lagi, yang terjadi saat ini adalah kaum intelektual muda yang dieksploitasi dengan sesama.
Menurut saya, hal ini tidak terlepas dari mahasiswa sekarang yang cenderung tidak tahu dan tidak mau tahu akan keadaan yang di sekitar. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan kuliah aman. Melihat hal tersebut, ada beberapa dari mahasiswa yang merasa memiliki kecerdasan lebih dari teman-temannya dan berusaha mengeksploitasinya karena melihat adanya peluang bisnis yang menguntungkan bagi mereka. Ada juga beberapa mahasiswa yang mengadakan suatu event untuk mencari keuntungan besar karena melihat banyaknya masa dari mahasiswa. Ada juga beberapa mahasiswa yang diberi tanggung jawab dan uang oleh negara untuk mengembangkan mahasiswa lain, tetapi digunakan untuk membuat event yang tidak ada sangkut-pautnya dengan perkembangan kaum intelektual muda yang pudar "Mahanya" Ini.
Jika keadaan ini terus berlanjut, hanya kehancuran yang menanti bangsa ini. Jika kaum intelektual sendiri terjajah pikirannya, lalu bagaimana dengan masyarakatnya? Saya harap coretan dari penulis dapat menyadarkan penulis dan kawan-kawan mahasiswa untuk mengembalikan marwah kata maha kepada essensi yang sesungguhnya.
Penulis: Pacet
Editor: Agustin Fajariah Asih
0 Komentar