Ilustrasi penjajahan di masa 'kemerdekaan': pixabay

Pmiigusdur- Ingatkah kalian dengan peristiwa 77 tahun silam? Peristiwa monumental yang biasa kita peringati setiap tanggal 17 Agustus, yakni kemerdekaan negara kita – Indonesia. Status kemerdekaan yang hingga kini kita rasakan, bukanlah hal yang mudah didapatkan. Butuh berbagai macam bentuk perjuangan dan tantangan yang harus dihadapi oleh para pahlawan dan pejuang terdahulu. Namun, apakah kemerdekaan yang telah lama di deklarasikan sudah benar-benar menunjukkan makna dari kemerdekaan?

Jika menilik makna kemerdekaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemerdekaan berarti: keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan adalah hak segala bangsa. Dengan mengacu definisi tersebut, maknanya negara kita sudah termasuk kategori negara merdeka. Karena negara kita telah berdikari – lepas dari penjajahan para kolonial Belanda (VOC), Jepang ataupun negara-negara penjajah lain.

Akan tetapi, jika kita mengutip arti kemerdekaan menurut ulama ahli tafsir dan filsafat hukum Islam – Ibnu ‘Asyur – makna kemerdekaan tentu akan berbeda lagi. Menurutnya, kemerdekaan adalah  tujuan agama yang agung, karena digali dan di-inferensi dari banyak dalil yang secara akumulatif mencapai derajat mutawatir. Adapun mengenai ruang lingkup kemerdekaan, ‘Asyur telah membatasinya ke dalam beberapa aspek kebebasan, yaitu bebas dari perbudakan, bebas dalam beragama, bebas dalam berpendapat dan bersuara, bebas dalam bekerja dan berwirausaha, serta bebas untuk belajar, mengajar, dan berkarya.

Berdasarkan definisi singkat ‘Asyur, dapat kita simpulkan bahwa kemerdekaan bukanlah sekadar bebas dari tangan penjajah, atau lebih dari itu – mendapatkan pengakuan dari negara lain serta pengakuan secara hukum saja. Melainkan juga kebebasan orang-orang di dalamnya untuk berekspresi secara penuh. Dengan demikian, makna kemerdekaan harusnya dapat termanifestasikan setiap insan, entah akan diekspresikan dari segi beragama, berpendapat, bekerja, belajar, maupun yang lainnya. Namun kebebasan tersebut agaknya belum sepenuhnya kita rasakan. Pada 06 Desember 2022 lalu contohnya, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tetap disahkan ditengah gelombang penolakan masyarakat. Jika mengutip gagasan ‘Asyur, dalam kasus ini bisa dikatakan bahwa kemerdekaan di Indonesia belum tercapai. Karena aspirasi masyarakat seakan menjadi angin lalu saja – RKUHP tetap disahkan meski banyak kontroversi dan penolakan.

Kendati demikian, kebijakan tersebut bukanlah sewenang-wenang disahkan tanpa adanya pertimbangan. Tentu, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah dalam menetapkan UU bukan tanpa alasan. Dilansir dari laman resmi DPR, pengesahan UU tersebut ditujukan untuk mengakomodir perkembangan hukum pidana sekaligus menciptakan pembangunan hukum nasional. Sehingga, UU KUHP menjadi langkah modernisasi Hukum Pidana Nasional sesuai perkembangan masyarakat.

Alasan yang di ungkapkan DPR tidak relevan, mengingat isi dari RKUHP yang di sahkan masih banyak pasal yang menciderai kebebasan berkekspresi masyarakat. Itu artinya, RKHUP tidak bisa menjadi alasan untuk memodernisasi hukum pidana nasional jika isinya justru kontraproduktif dengan semangat kemajuan demokrasi Indonesia. Hal ini justru lebih mengarah pada model penjajahan baru yang dilakukan oleh negara dengan mengekang rakyatnya untuk tidak boleh kritis terhadap pemerintah.

Alur Penjajahan Baru

UU telah resmi disahkan, namun arus penolakan belum juga usai. Berbagai pihak masih kontra terhadap kebijakan baru tersebut. Mungkin masyarakat perlu waktu untuk beradaptasi terhadap perubahan yang masih dirasa baru. Wajar saja, perubahan tersebut bukan semata-mata perubahan biasa – bukan sehari dua hari – tetapi berjalan lama yang tidak diketahui pasti sampai kapan berlangsungnya dan dalam hal ini masyarakatlah yang menjadi objek utamanya.

Pendapat dan masukan masyarakat di sini bukanlah satu-satunya landasan dalam memutuskan suatu kebijakan. Namun perlu diingat, isi kebijakan yang lebih dominan dirasakan oleh masyarakat, seharusnya menjadi bahan yang perlu dipertimbangkan kembali sebelum akhirnya mengesahkan kebijakan.

Seperti yang kita ketahui, negara tanpa warga negara bukanlah apa-apa – tanpanya tidak akan terwujud suatu negara. Sehingga, aspirasi warga negara harusnya lebih diperhatikan dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Jika diterus-teruskan, bukan tidak mungkin kondisi warga negara kita akan selalu dalam tekanan –terjajah dalam bayang-bayang kebebasan berekspresi, menyuarakan pendapat, ataupun kritik pemerintah. Padahal, hal tersebut justru menjadi bahan evaluasi terhadap kinerja pemerintah dan mendukung kemajuan demokrasi. Karena makna demokrasi yang sejatinya adalah ketika sebuah aturan ataupun produk undang-undang yang dihasilkan haruslah bersumber dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh sebab itu, syarat utama di sahkannya suatu UU haruslah berorientasi untuk kemaslahatan rakyat, bukan hanya segelintir pejabat.

Pasal sebagai Senjata Pembungkaman

Salah satu di antara beberapa pasal yang dapat menggambarkan alur penjajahan baru di negara kita adalah pada pasal 218 ayat 1. Pada pasal tersebut berbunyi, “Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Isi pasal tersebut memang memiliki maksud yang baik, karena marwah presiden akan lebih terjaga melalui peraturan yang secara resmi tertulis hitam di atas putih dan disahkan. Akan tetapi, sebagai warga negara yang dalam ranah ini dipimpin oleh presiden – kebijakan semacam itu dapat menyulitkan warga negara dalam menyuarakan pendapatnya. Dalam artian memberikan kritik sebagai salah satu wujud penilaian dari hasil kerja pemerintah.

Tidak hanya itu, kebijakan tersebut juga membatasi para lembaga pers dalam menyalurkan informasi yang diperolehnya. Hal ini dikarenakan, seorang jurnalis menahan diri untuk menginformasikan suatu berita yang sifatnya sensitif. Mengapa? Karena mungkin saja hal tersebut dinilai sebagai bentuk penyerangan kehormatan kepada presiden. Padahal, berdasarkan kode etik jurnalistik pasal 1 dijelaskan, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Maksud dari independen di sini ialah isi berita harus sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Meski begitu, seorang jurnalis harus lebih berhati-hati dan berpikir dua kali dalam menyuarakan informasi yang diperolehnya. Karena isi pasal RKUHP baru yang dinilai cukup membatasi ruang gerak para jurnalis.

Namun dalam ayat lanjutannya, yakni ayat 2 pasal 218 dijelaskan bahwa suatu tindakan tidak akan dinilai sebagai bentuk penyerangan harkat dan martabat, jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

 

Penulis: Fathur

Editor: Sajidin