Ilustrasi ibu dan segala pengorbanan untuk anaknya: Dai

 

Seraya menatap mataku yang sembab, Ibu berusaha menguatkanku. Tangan lembutnya dengan suka rela membelai tubuhku. Ada perasaan tenang ketika tangan ibu menyentuhku. “Kamu pasti bisa berangkat, nak. Ibu akan berusaha semaksimal Ibu. Tidak yang tidak mungkin kalau kita bersandar kepada Allah. Mungkin bagi kita hal itu sangatlah mustahil. Tapi bagi Allah, memudahkan urusan yang sulit bukan perkara susah. Bahkan sangat mudah. Asal kita tetap berusaha dan tetap berdoa kepada Allah,”

Aku memandang wajah ibuku. Kulihat senyumannya yang indah dan penuh keyakinan. Aku ingin tetap melihat senyumannya. Senyum ketulusan seorang ibu kepada anaknya.

***

Kuliah di pulau Jawa adalah impianku sejak kecil. Aku ingin menempuh pendidikan di perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Aku selalu berusaha semaksimal mungkin agar diterima di kampus itu. Tak lupa, aku juga meminta doa dan restu dari kedua orang tuaku agar aku bisa diterima di kampus impianku itu. Banyak orang-orang yang meremehkan impianku ini.

“Kenapa harus kuliah jauh-jauh, kalau di sini aja ada kampus.”

“Jadi orang itu harus sadar diri. Sok-sok an pengen kuliah di pulau Jawa. Dapat uang dari mana?”

“Anak perempuan itu tidak boleh kuliah-kuliah jauh. Kehidupan di luar sana keras. Siapa yang akan jaga kamu nantinya?”

“Udah tau bapaknya cuma petani, tapi masih aja ngotot pengen kuliah jauh-jauh.”

“Aisyah aja yang orang tua yang kaya raya cuma kuliah disini. Ini kamu malah pengen kuliah jauh. Sadar diri dikit.”

“Kamu itu anak perempuan satu-satunya. Kasian sama ibu kamu kalau kamu kuliah jauh-jauh.”

Dan masih banyak lagi omongan orang-orang yang bikin aku down. Aku bahkan sempat ingin mengubur dalam-dalam impianku, tapi ibu selalu meyakinkan aku untuk mewujudkannya. Kata ibu, tidak ada yang mustahil dan tidak perlu mendengarkan omongan orang-orang.

Benar apa kata ibu. Tidak ada yang mustahil. Setelah melewati proses yang panjang, akhirnya aku di terima di kampus yang aku impikan. Aku merasa tidak percaya ketika membuka pengumumannya. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Ini semua juga berkat doa ibu yang tidak henti-hentinya mendoakan aku agar bisa diterima di kampus itu. Aku kemudian berusaha mati-matian agar aku bisa lolos beasiswa, karna aku sadar orang tuaku tidak akan mampu membiayai kuliahku, walaupun mereka selalu bilang mereka mampu.

Semua masih berjalan normal ketika aku masuk di kampus tersebut karna waktu itu masih pandemi. Aku masih kuliah online, tidak perlu perlu pergi ke kampus. Setidaknya aku masih punya sedikit waktu untuk mengumpulkan uang untuk berangkat ke pulau Jawa. Hingga semuanya kacau balau ketika ada surat edaran dari kampus kalau kuliah akan dilaksanakan secara offline, walaupun dengan sistem ganjil genap.

Aku bagai disambar petir ketika membaca surat edaran tersebut. Karna jujur aku sama sekali belum siap pergi ke pulau Jawa. Tabunganku belum cukup untuk biaya transportasi kesana. Aku menangis sejadi-jadinya dipelukan ibu. Kondisi keuangan keluargaku saat itu juga sedang tidak stabil. Harga hasil panen sedang tidak bersahabat. Ibu kemudian memintaku untuk cek harga pesawat ke pulau Jawa. Dan lagi-lagi, dunia sedang tidak bersahabat denganku. Harga pesawat saat itu melonjak naik karna masih pandemi. Ditambah lagi, syarat untuk melakukan perjalanan harus tes PCR yang harganya sangat mahal.

Aku benar-benar putus asa saat itu. Aku buntu, tidak tau harus berbuat apa. Sampai aku berpikiran untuk mundur. Tidak lagi melanjutkan kuliahku di sana. Tapi lagi-lagi ibu meyakinkan aku, kalau dibalik kesulitan pasti ada kemudahan.

“Ibu janji akan mengusahakan yang terbaik untukmu. Kamu pasti akan berangkat ke pulau Jawa, Nak,” Ucap ibuku waktu itu.

Seperti janjinya, ibu berusaha untuk semaksimal mungkin untukku. Tapi tetap saja, upah hariannya yang tidak seberapa dan hasil panen ayahku tidak cukup menutupi semua biaya untuk aku berangkat. Ibu juga berusaha meminjam uang ke tetanggaku, tapi hasilnya nihil. Hampir semua orang dikampungku kena dampak oleh pandemi.

Lima hari sebelum masuk kampus seperti disampaikan di surat edaran itu, belum ada tanda-tanda aku akan berangkat. Aku akhirnya pasrah, berusaha untuk ikhlas melepas kampus impianku. Aku yakin, pasti ada hikmah dibalik ini. Dan untuk pertama kalinya, aku liat ibuku menangis malam itu. Hatiku benar-benar tersayat-sayat melihatnya. Aku benar-benar merasa bersalah, karna selama ini terlalu memaksa untuk kuliah di kampus impianku dan menjadi anak yang durhaka karna telah menyusahkan orang tuaku.

Tiga hari sebelum masuk kampus, akhirnya ibu memutuskan menggadaikan satu-satunya sawah yang kami miliki. Fakta ini benar-benar membuatku semakin merasa bersalah kepada kedua orang tuaku. Sawah yang selama ini kami kelolah dan makan dari hasilnya, digadaikan kepada orang lain. Aku waktu itu marah besar kepada ibuku.

“Tidak apa-apa, Nak. Sawah itu nanti bisa kita ambil lagi, tapi kesempatanmu untuk kuliah di kampus impianmu itu belum pasti akan datang dua kali. Ibu tau bagaimana perjuangan kamu untuk bisa diterima di sana. Insyaa Allah, ini yang terbaik. Berangkatlah nak, ibu ikhlas. Kejar impianmu setinggi-tinggi. Doa ibu selalu menyertaimu,” Ucap ibuku.

Hatiku pilu mendengar apa yang diucapnya barusan. Betapa dalam kasih sayang dan ketulusan ibu, sampai ia rela melakukan apapun untukku.

Aku akhirnya berangkat ke pulau Jawa dengan perasaan bersalah. Tapi ibu lagi-lagi meyakinkanku kalau tidak masalah melakukan apapun asalkan itu yang terbaik untukku. Hari itu, lagi-lagi aku menyaksikan ibu menangis melepasku pergi di bandara. Ibu melepas satu-satunya anak perempuannya pergi jauh darinya.

Terima kasih banyak, bu. Aku tidak tau lagi harus bagaimana membalas semua jasamu padaku. Aku akan segera pulang setelah menyelesaikan semua pendidikanku disini dan akan berbakti sepenuhnya padamu.

 

Karya: Adiakkk

Semarang, 7 Desember 2022