Ilustrasi batal piala dunia U-20 Word Cup Indonesia 2023 oleh: Dai 

Fifa pada situs resminya menyatakan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah ajang sepak bola piala dunia U-20 karena keadaan saat ini, pada rabu (29/3) malam. Hal ini merupakan puncak rentetan polemik yang terjadi di Indonesia baru-baru ini. Mulai dari tragedi di Kanjuruhan sampai pro dan kontra penolakan tim nasional Israel.

Hal ini menuai beberapa respons dari berbagai pihak, terutama punggawa tim nasional Indonesia U-20. Ketika di undang  oleh salah satu acara talk show di salah satu stasiun TV nasional, punggawa tim nasional Indonesia U-20, yaitu Hokky Caraka mengeluarkan sebuah pengakuan yang menarik terkait pendidikan.

“Saya sendiri sudah tiga tahun ninggalin sekolah demi Indonesia, kalau beneran ini di banned saya sudah gak punya ilmu apa-apa. Gak punya bekal untuk beralih profesi apapun itu. Soalnya kami selama tiga tahun hanya diberi tugas terus, tidak tahu gimana isi dari pembelajaran itu,” ujar Hokky Caraka di talk show tersebut.

Pernyataan dari Hokky Caraka tersebut adalah sebuah bukti akan bobroknya sistem Pendidikan Indonesia saat ini.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan yang seharusnya dapat mengembangkan potensi peserta didik, agaknya belum bisa tercapai. Pernyataan dari Hokky Caraka merupakan studi kasus tentang kurang ramahnya dunia pendidikan pada sepak bola yang notabene merupakan salah satu olahraga favorit masyarakat Indonesia.

Sepak bola memang telah menjadi salah satu olahraga yang banyak diminati oleh masyarakat dunia, terutama Indonesia. Secara terstruktur, sepak bola saat ini telah ramah pada bibit-bibit muda dengan Sekolah Sepak Bola (SSB) atau akademi sepak bola yang telah bermunculan. Hal ini tentu bagus untuk dapat memaksimalkan bakat anak untuk berkarier di dunia sepak bola. Dalam hal ini kurikulum memegang peranan vital agar pendidikan dalam sepak bola bisa berjalan secara maksimal. Akan tetapi pada kenyataannya, ada seorang anak yang meninggalkan pendidikannya untuk sepak bola, terlebih dia adalah seorang atlet nasional. Jika atlet nasional saja seperti itu, bagaimana dengan SSB dan akademi sepak bola lain?.

Kapan para pemegang kekuasaan sepak bola di Indonesia mau berpikir membuat sekolah yang tidak mengesampingkan salah satu dari dunia pendidikan maupun sepak bola?. Perlu adanya langkah yang harus dipikirkan agar para pemain sepak bola tidak hanya genius di dalam lapangan, tetapi juga di luar lapangan. Sedangkan di Eropa, sudah banyak pihak yang memulai itu. Keputusan untuk menggabungkan dunia pendidikan dan sepak bola tentu saja akan menjadi keuntungan besar bagi para pemilik klub.

Juventus misalnya, klub asal Italia tersebut sedang gila-gilanya melebarkan sayap bisnis sepak bolanya. Di tahun 2012 mereka telah meresmikan Juventus College, sebuah institusi pendidikan bagi pemain muda Juventus. Bukan sekolah sepak bola yang mengajarkan berbagai cara bermain atau membuat taktik pertandingan, melainkan sekolah formal. Kurikulumnya adalah kurikulum pendidikan yang berlaku di sana.

Juventus College ini setingkat dengan sekolah menengah di Indonesia. Hanya saja sekolah menengah di sana dimulai usia 14 – 16 tahun. Tingkatannya adalah prima, seconda dan terza. Seperti kelas 1, 2, dan 3 SMA di Indonesia.

Alasan Juventus mendirikan ini pun didasari dari kenyataan bahwa tidak selamanya pemain sepak bola dapat hidup dengan sepak bola. Oleh karena itu, Juventus College pun menjadi solusi untuk orang tua yang berselisih dengan keinginan sang anak. Jika ada orang tua yang lebih menginginkan anaknya mengenyam pendidikan formal, namun nyatanya sang anak ingin menjadi pemain sepak bola. Maka Juventus College akan hadir sebagai suatu solusi yang baik untuk orang tua.

Langkah Juventus ini pun telah sesuai dengan salah satu isi dari Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Akan tetapi, tentu saja Juventus bukan klub Indonesia. Klub yang lupa akan makna pendidikan di tengah-tengah geliat bisnis sepak bola.

Dengan memiliki latar belakang pendidikan yang baik pun tidak menutup kemungkinan para pemain dapat mengisi jajaran struktur klub setelah pensiun. Seperti Pavel Nedved yang memiliki keahlian matematika. Dirinya pun menerima gelar diploma statistik saat masih berkarier.

Selain Eropa, langkah Jepang dalam mengolaborasikan pendidikan dan sepak bola patut di contoh oleh Pendidikan Indonesia. Awal tahun 80’an, Jepang mulai menegakkan cita-cita untuk membangun peradaban sepak bolanya. Di Negeri Dewa Matahari itu, banyak sekolah maupun universitas yang memilik kesebelasan sepak bola.

Kisah perjalanan sepak bola Jepang bahkan tidak bisa dilepaskan dari peran sekolah dan universitas yang memiliki kesebelasan sepak bola. Dunia pendidikan pun menjadi alat penyebarluasan sepak bola di Jepang. Bahkan nama-nama seperti Honda, Nagatomo, dan Hasebe muncul dari hasil binaan kesebelasan-kesebelasan yang dimiliki universitas di Jepang.

Kembali pada pernyataan Hokky Caraka tentang dirinya yang meninggalkan pendidikan untuk sepak bola harus menjadi evaluasi yang serius bagi dunia pendidikan di Indonesia. Jangan sampai ketidakselarasan antara sepak bola dan pendidikan kembali merenggut masa depan anak bangsa. Hal ini harus diberi perhatian khusus untuk segala elemen yang bersangkutan. Sudah saatnya pendidikan Indonesia fokus untuk mewujudkan tujuan pendidikan Indonesia itu sendiri dan mendukung pengembangan segala potensi anak bangsa secara maksimal.

 

Penulis: Mahasiswa Pendidikan

Editor: Agustin