Ilustrasi anak yang tertekan karena kekerasan orang tua: pixabay.

Abstrak : Kekerasan terhadap anak merupakan salah satu masalah yang paling sering terjadi di Indonesia. Itu bisa terjadi kapan saja, hampir di mana saja, dan di hampir semua provinsi. Hal ini sangat aneh jika direnungkan bagaimana seharusnya anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa mendapatkan kasih sayang, bimbingan, dan pendidikan yang penuh kasih sayang dari orang tuanya.

PENDAHULUAN

Anak adalah sebuah pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus di jaga, dirawat dan dilindungi. Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut : "Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya". Selain itu anak merupakan generasi penerus yang akan meneruskan bagaimana bangsa ini di masa mendatang. Pertumbuhan anak baik itu secara fisik maupun mental mereka pada dasarnya membutuhkan pengajaran, pengarahan, dan kasih saying dari orang tua mereka. Keluarga yang harmonis, bahagia, penuh kasih sayang akan menjadi faktor utama dalam perkembangan kepribadian anak secara menyeluruh. 

Melansir dari Kompas.com angka laporan kasus kekerasan terhadap anak tercata meningkat dari 11.057 pada 2019, 11.278 kasus pada 2020, dan menjadi 14.517 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap anak juga meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972. Sementara itu, angka laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 8.864 kasus pada 2019, 8.686 kasus pada 2020, menjadi 10.247 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan juga meningkat dari 8.947 orang pada 2019, 8.763 orang pada 2020, lalu menjadi 10.368 kasus pada 2021. Hal ini menjadi suatu yang sangat ironis, seorang anak yang akan meneruskan perjuangan bangsa ini tidak mendapatkan haknya secara utuh tapi justru mendaptkan kekerasan terhadap mereka. Generasi ini yang akan mengalami kebingungan di masa depannya karena jika mereka mendapatkan pergaulan yang salah maka mereka tidak akan memiliki landasan kepribadian, moral, serta spiritual yang kuat. 

Menurut Munib (2012), ada dua dimensi psikologi perkembangan: fisiologi dan psikologi. Fisiologi mengkaji perkembangan tubuh anak ditinjau dari bentuk fisik dan sel ototnya, khususnya yang membentuk kematangan fisik, seperti maturasi sel otak yang matur untuk mempersepsikan kemampuan stimulus yang masuk atau maturasi otot kaki dan tangan yang menjadi sulit untuk berjalan dan mengambil barang. Sedangkan psikologi mengkaji perkembangan sosial anak yang mengarah pada perkembangan mental, penalaran (kognitif), perasaan (efektif), dan aktivitas (motorik).Kedua dimensi ini tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan.

Kewajiban berbakti kepada orang tua selalu ditekankan dalam kehidupan sehari-hari, namun anak seringkali mengalami tekanan dan ancaman untuk memenuhi keinginan orang tuanya. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan kekerasan terhadap anak. Orang tua berpendapat bahwa dengan menggunakan kekerasan maka anak akan menjadi penurut, namun hal ini berdampak sebaliknya yaitu membuat anak keras kepala dan keras kepala. Akibatnya, muncul perilaku orang tua terhadap anak yang seharusnya tidak dilakukan, seperti pemukulan, pengurungan (penyekapan), dan umpatan dengan kata-kata kotor, dan lain-lain.

Kekerasan memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan psikologis, fisik, dan mental anak. Jika anak-anak diajari kekerasan, tidak menutup kemungkinan mereka akan mengajarkan kekerasan kepada anaknya sendiri di kemudian hari. Banyak kasus menunjukkan bahwa tidak mungkin meremehkan pentingnya orang tua dalam memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya dengan menunjukkan sikap dan perilaku yang positif (M.Fuad, 2008). Karena anak secara fisik dan mental lebih lemah dari orang dewasa dan terus bergantung pada pengasuhnya, posisi dan status mereka dalam rumah tangga justru menjadi lebih lemah. Dalam hal ini, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dampak  kekerasan terhadap psikologis anak.

Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Menurut Azevedo & Viviane, bentuk kekerasan psikologis pada anak. antara lain sebagai berikut:

Kekerasan anak secara fisik

Kekerasan fisik pada anak adalah penyiksaan, pemukulan atau penganiayaan terhadap anak, dengan menggunakan benda tertentu atau langsung dengan tangannya, yang menyebabkan luka fisik dan psikis pada anak. Luka tersebut dapat terlihat seperti goresan atau memar yang disebabkan oleh kontak atau kekerasan dengan benda tumpul, seperti bekas gigitan, jepitan, ikat pinggang, atau rotan. Itu juga bisa terlihat seperti luka bakar dari bensin panas atau pola yang dibuat dengan membakar rokok anak-anak atau menyetrikanya. Biasanya lukanya ada di bokong, paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut atau punggung. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh perilaku anak yang tidak disukai oleh orang tuanya, seperti anak yang nakal atau rewel, selalu menangis, minta jajan, buang air kecil atau muntah sembarangan, memecahkan barang berharga.

Kekerasan anak secara psikis

Kekerasan anak secara psikis mencakup berbagai kegiatan antara lain menghardik, mengatakan pada anak kata-kata kotor dan jorok, memperlihatkan buku, gambar atau film yang berbau pornografi kepada anak. Anak-anak yang mendapatkan perlakuan ini seringkali bertindak dengan cara yang tidak baik bagi mereka. Misalnya, mereka mungkin selalu sendirian, malu, menangis saat didekati, takut keluar rumah, atau takut bertemu orang baru.

Seorang psikiater internasional bernama Terry E. Lawson pernah mengemukakan definisi kekerasan terhadap anak. Dia mengatakan bahwa setidaknya ada empat jenis pelecehan anak: pelecehan emosional, pelecehan verbal, pelecehan fisik, dan pelecehan seksual.

Kekerasan secara langsung

Pelecehan fisik terjadi ketika orang tua, wali, atau orang dewasa lainnya memukul seorang anak (ketika anak tersebut benar-benar membutuhkan perhatian). Jika kekerasan tersebut berlangsung dalam jangka waktu tertentu, anak akan selalu mengingat pukulan yang dilakukannya. Seseorang melukai bagian tubuh anak, dengan atau tanpa alat.

Kekerasan emosional

Ketika orang tua atau pengasuh mengetahui bahwa anak mereka menginginkan perhatian dan kemudian mengabaikan anak tersebut, mereka secara emosional melecehkan anak tersebut. Ia membiarkan anaknya basah kehujanan atau kelaparan karena ibunya sedang sibuk bekerja atau sedang tidak ingin diganggu saat itu. Orang tua yang selalu sibuk tidak pernah memperhatikan kapan anaknya perlu digendong atau dijaga keamanannya. Ketika ini terjadi, anak akan mengingat semua kekerasan emosional, apalagi jika sudah berlangsung lama dan konsisten. Orang tua yang menyakiti anak secara emosional akan terus melakukannya selama sisa hidup anak itu.

Kekerasan secara verbal

Sebagian besar, itu berbentuk pelecehan verbal, di mana pelaku mengikuti pola komunikasi yang mencakup rencana atau kata-kata yang menyakiti anak. Seringkali, pelaku melukai pikiran anak dengan menyalahkan, melabeli, atau menjadikan anak sebagai kambing hitam. Ketika anak tidak sepenuhnya disalahkan. 

Ketika anak-anak terlantar, berarti orang-orang terdekatnya atau di lingkungannya tidak melindungi atau bahkan tidak memperhatikannya. Kelalaian dapat terjadi baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Pengabaian itu sendiri dapat berupa :

1) Fisik

2) Kesehatan 

3) Pendidikan 

4) Psikologi

5. Komersialisasi

Jenis kekerasan ini adalah ketika orang yang menyakiti orang lain melakukannya dengan niat atau tujuan yang tidak disengaja untuk mendapatkan sesuatu darinya, baik itu berupa uang atau yang lainnya. Komersialisasi dapat terlihat seperti:

1) Tenaga kerja anak, seperti bekerja di pabrik atau sebagai pembantu rumah tangga di Jermal.

2) Prostitusi

3) Perdagangan


Dampak Kekerasan Orang Tua Terhadap Perkembangan Psikologis Anak

Kebanyakan orang yang dilecehkan saat masih anak-anak menjadi sakit jiwanya (gangguan mental), pemarah, dan berperilaku buruk saat dewasa. Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam Nataliani (2004) juga mengatakan bahwa seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang telah dianiaya ingin membunuh ibunya. Berikut dampak kekerasan orang tua terhadap fisik dan psikis anak, antara lain: 1) Apa yang terjadi jika orang saling memukul?. Anak-anak yang orang tuanya jahat terhadap mereka akan tumbuh menjadi sangat pemarah, dan ketika mereka memiliki anak sendiri, mereka akan jahat terhadap mereka. Ketika orang tua agresif, mereka memiliki anak yang agresif, yang tumbuh menjadi orang dewasa yang agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menjelaskan bahwa semua jenis gangguan jiwa yang terjadi pada anak merupakan kebalikan dari perlakuan buruk yang diterima anak ketika masih kecil. Ketika kekerasan digunakan terhadap seorang anak berulang kali dalam waktu yang lama, anak tersebut akan terkena mentalnya, terluka, dan bahkan meninggal. 2) Akibat kekerasan mental. Pada tahun 1986, UNICEF mengatakan bahwa anak-anak yang sering dimarahi oleh orang tuanya, apalagi jika dimarahi diikuti dengan tindakan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk seperti memuntahkan makanan berulang kali, gangguan makan, anoreksia ( takut menjadi kelebihan berat badan), kecanduan alkohol dan narkoba, dan keinginan kuat untuk bunuh diri. Nadia (1991)  mengatakan bahwa sulit untuk mengenali atau mendiagnosa kekerasan psikis karena tidak meninggalkan bekas langsung seperti kekerasan fisik. seperti menggunakan rasa sakit untuk menyakiti seseorang. Kekerasan semacam ini meninggalkan luka yang tersembunyi berupa rendah diri, kesulitan mencari teman, perilaku destruktif, selalu menjauhi orang, menyalahgunakan narkoba dan alkohol, atau kecenderungan untuk bunuh diri. 3) Efek mengabaikan anak. Jika seorang anak mengalami hal ini, dampak yang paling terlihat adalah mereka tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari orang tuanya. Hurlock (1990) mengatakan bahwa jika seorang anak tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari orang tuanya, hal itu akan menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak mempelajari perilaku yang sudah ditemui, dan kesulitan menyesuaikan diri saat tumbuh dewasa. Soenarto, psikolog, mengatakan bahwa kekerasan psikis adalah ketika seseorang melakukan sesuatu yang bersifat kekerasan terhadap pikiran korban, seperti membentak, memaki, mengancam, melarang, menyuruh, melecehkan, menguntit, memata-matai, atau melakukan hal lain yang membuat korban takut. Kekerasan psikis terhadap siswa masih terus terjadi. Kenyataannya, guru masih membentak, mengolok-olok, bahkan terkadang menghukum siswa yang melanggar peraturan. Para guru sangat marah sehingga mereka tidak bisa menahan perasaan mereka. Mereka mengatakan hal-hal yang bersifat menegur, memarahi, mengolok-olok, bahkan terkadang menghujat. Ketika guru menggunakan kata-kata kasar seperti "kamu malas, kamu tidak sekolah, kamu pembuat onar", dll, sepertinya mudah bagi mereka untuk mengatakannya. Siswa yang bersekolah dengan cara ini telah mengalami salah satu bentuk kekerasan psikis.

Anak-anak mungkin tidak sakit di tubuh mereka, tetapi mereka pasti akan merasa sakit di pikiran mereka. Jika anak-anak dibiarkan berbicara balik, mereka mungkin membalas orang tua mereka dengan kata-kata yang lebih keras atau bahkan memukul mereka jika mereka terlalu berani.

Maka tidak mengherankan jika pada akhirnya anak-anak akan berulah dengan mengumpat, menulis di dinding, dan memecahkan barang. Saat mereka dewasa, mereka juga bisa menggunakan kata-kata kasar untuk menghina anak mereka sendiri. Ini adalah cara bagi anak-anak yang terluka oleh cara orang tuanya membesarkan mereka untuk membalas orang tuanya dengan melakukan hal yang sama kepada anak-anaknya sendiri. Anak-anak mungkin mengingat efek dari kekerasan ini sampai mereka dewasa. Dan jangan katakan dengan pasti bahwa dia tidak akan melakukan pada anaknya apa yang telah dilakukan padanya di masa depan. Sejauh ini, meningkatnya kejahatan dengan kekerasan menunjukkan bahwa anak-anak seringkali diabaikan pada saat yang sama ketika mereka disakiti. Pelecehan dan pengabaian dapat merusak kesehatan fisik dan mental anak. Seringkali, anak-anak yang dianiaya oleh kedua orang tuanya tumbuh dan berkembang lebih lambat dibandingkan anak-anak lainnya. Lidya (2009) mengatakan bahwa kekerasan memiliki dampak lain pada anak secara umum:

- Anak akan selalu berbohong, takut, tidak tahu apa itu cinta atau kasih sayang, dan sulit mempercayai orang lain.

- Anak itu memiliki harga diri yang rendah dan bertindak dengan cara yang merusak.

- Anak-anak memiliki masalah dengan pertumbuhan mental dan interaksi sosial mereka.

- Ketika anak-anak bertambah besar, mereka menyakiti teman-teman mereka dan   anak-anak lain seusia mereka.

- Berteman dan berkenalan dengan orang lain.

- Anak-anak dengan kecemasan atau kepanikan yang parah mengalami sakit fisik dan mengalami kesulitan di sekolah.

(Soetjiningsingh, 2005): Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik atau seksual akan menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:

Tanda-tanda cedera atau infeksi di area tersebut, seperti memar, nyeri perineum, keputihan, serta nyeri dan pendarahan di anus.

Tanda-tanda masalah emosional, seperti kurang fokus, mengalami kecelakaan, diare, kehilangan berat badan, atau mengubah cara bertindak.

Perilaku atau aktivitas seksual anak yang tidak sesuai dengan usianya.

Anak-anak yang mengalami atau melihat kekerasan dalam keluarga dapat mengalami gangguan stres pascatrauma. Ini dapat muncul sebagai masalah tidur, keluhan psikosomatis (seperti sakit kepala atau sakit perut), atau gejala lainnya. Anak juga akan merasa marah, yang dapat membuat mereka mencoba melarikan diri dengan cara yang buruk, seperti minum atau menggunakan narkoba.

KESIMPULAN

Dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa latar belakang orang tua melakukan kekerasan terhadap anak disebabkan oleh beberapa faktor antara lain orang tua yang diktator, anak melakukan kesalahan dan pola pendidikan anak yang tidak tepat diberikan oleh orang tua. kepada anak-anak. Kemudian, efek psikologis kekerasan psiko pada anak biasanya meninggalkan tanda tersembunyi yang muncul dalam berbagai cara, seperti rendah diri, kesulitan berteman, perilaku destruktif, menarik diri dari lingkungan, kecanduan narkoba dan alkohol, atau kecenderungan bunuh diri. Seperti anak yang sering dimarahi orang tuanya, anak yang disiksa, dan sebagainya. Metode pendekatan, metode pencegahan sekunder, dan metode terapi atau pengobatan adalah semua cara yang dilakukan masyarakat dan orang tua untuk menghentikan kekerasan terhadap anak.



DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin. 2007. Asupan Gizi Pada Ibu Hamil. http: www.scribd.com/doc/47810533/makalah-anemia-bumil diakses pada tanggal 27 november 2017 pukul 09.00 WIB

Azevedo & Viviane.2012. Domestic Psychological Violence: Voice of Youth, 2008, dikutip dari Lufita Tria Harisa, “Teori Tipologi Bentuk Kekerasan Psikologis terhadap Anak (Child-Psychological Violence)”

Chatib, Munib. 2012. Orangtuanya Manusia. Bandung : Mizan Pustaka. Carpenito, L.J. 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.

Firdinan, M. Fuad. 2008. Membina Keluarga Harmonis. Yogyakart : Tugu Publisher

Nuansa. Herlina. 2010. Minat belajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hurlock,Elizabeth. 2002. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: erlangga

Hurlock, Elizabeth. (1990). Paikologi perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan). Jakarta: Erlangga.

Lawson, Fred (1976). Hotels, Motels Condominiums:Design, Planning And Maintenance.

Lestari, Sri . 2012. PSIKOLOGI KELUARGA: Penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga. Jakarta: Kencana Perdana Media Group 

Meleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Nataliani, Y.2004. Cepat Mahir GUI Matlab. Jogjakarkarta: Penerbit ANDI.

Nasution, Thamrin, dkk.2009. Peran Orang Tua Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak. Jakarta:BPK Gunung Mulya.

Nadia.(1991).Green technology and Design for The Environment.University of Connecticut, Taylor&Francis.

Waluyadi, 2009, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung 


Penulis: Wildan Alwi