Ilustrasi tiga mercusuar: pexels.com

"Kang, Bangun, Kang! Ini ada kopi sama singkong goreng." Seloroh Kang Dul sambil membangunkan sahabatnya, Kang Mun, yang belum lama tertidur.

Kang Mun segera bangun dan dia lihat di sampingnya sudah ada secangkir kopi dan beberapa potong singkong goreng yang dibeli Kang Dul di warung depan pesantren. Jam menunjukkan pukul dua belas dini hari. " Ada apa, Kang?" Tanya Kang Mun yang sudah duduk sambil mengusap kelopak matanya yang masih berat.

Kang Dul diam sejenak. "Itu kopi sama singkongnya dimakan dulu." Tukasnya dengan tidak menjawab pertanyaan.

"Aku mau ke kamar mandi dulu, Kang." Kata Kang Mun sembari menuju ke belakang untuk mengambil wudu.

Kang Mun sembahyang sunah dua rakaat lebih dulu di langgar pesantren baru kemudian kembali lagi ke kamarnya. Ketika baru masuk, tiba-tiba dia melihat Kang Dul sedang sibuk melakukan sesuatu. Setelah didekati, rupanya dia sedang mengilir sebilah pedang. Mau apa Kang Dul ini,  selorohnya dalam hati. Tak terlalu memedulikan sahabatnya itu, Kang Mun dengan cuek langsung duduk menyeruput kopi yang untungnya belum dingin dan mengambil satu-dua potong singkong goreng sambil sesekali terdengar di telinganya bunyi besi yang digosok-gosokkan, "Sling... Sling..."

Sesaat kemudian, Kang Dul berujar, "Sudah selesai makannya, Kang?"

"Sudah.” Jawabnya singkat. “Ngomong-ngomong, itu pedang buat apa, Kang?" Tanya Kang Mun yang akhirnya mulai penasaran.

Lagi-lagi tanpa menjawab pertanyaan sohibnya itu, Kang Dul malah melepas bajunya hingga  telanjang dada. Tampak tubuhnya begitu kurus dan legam. Dia lantas mendekat dan berbalik badan sambil berkata, "Tolong tebas punggungku, Kang."

Kang Mun cukup kaget dengan permintaan aneh dari temannya itu. "Kalau mati nanti bagaimana, Kang?" Sahutnya dengan nada khawatir.

"Kalau mati ya dikubur." Jawab Kang Dul santai.

Kang Mun tetap bergeming sebab masih ada keraguan dalam dadanya. Apa sahabatnya itu sudah gila?

“Ayo, Kang.” Tandas Kang Dul meyakinkan.

Tanpa basa-basi lagi, Kang Mun langsung mengayunkan pedang yang sudah diasah itu tepat di punggung kawannya. Dan yang terjadi, Kang Dul sama sekali tidak terluka sedikit pun; luka gores pun tidak.

"Suwun, Kang." Ucap Kang Dul kemudian keluar dari kamar dan pergi entah ke mana.

***

Hari itu tamu-tamu yang datang ke ndalem[1] tetap ramai seperti biasa. Mbah Mad selaku tuan rumah serta pengasuh pondok pesantren selalu menyambut mereka dengan ramah dan hangat hingga para tamu merasa nyaman dan enggan pulang. Mereka dijamu dengan sangat baik bahkan semuanya dipersilakan untuk makan—makan dalam arti yang sebenarnya, bukan makan jajanan di ruang tamu. Jika belum makan, para tamu belum diperbolehkan pulang oleh Mbah Mad.

Sore selepas hujan, entah pukul berapa, datanglah seorang laki-laki dengan raut wajah yang tampak sekali menyiratkan dia sedang berduka.

"Assalamu'alaikum." Ucapnya di depan pintu.

"Wa'alaikumussalam. AlhamduliLlah. Monggo, silakan masuk. Monggo monggo, pinarak. AlhamduliLlah." Ujar Mbah Mad.

Setelah menyalami semua tamu satu per satu, si laki-laki itu duduk. Dia melihat Mbah Mad tampak masih berbincang dengan tamu-tamu yang lain sehingga dia putuskan untuk menunggu dan menyimak lebih dulu. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.

Di sela-sela obrolan, sering kali dia mendengar ucapan alhamduliLlah keluar dari lisan Mbah Mad tidak peduli apa pun yang diadukan para tamu. Mulai dari berita pernikahan, bayi yang baru lahir, keguguran, anak sunatan, rumah yang selesai dibangun, pencalonan yang berhasil atau gagal, hingga berita orang meninggal. Beliau selalu mengucap alhamduliLlah.

Sesudah seluruh tamu selesai dengan keperluan mereka, satu per satu dari mereka akhirnya berpamitan. Hanya tersisa si laki-laki itu sendiri sekarang. Barulah dia berani duduk mendekat ke Mbah Mad lantas segera menyampaikan maksud kedatangannya.

"Begini, Mbah, ..."

"Bagaimana, Kang?"

"Saya ingin meminta barokah doa Panjenengan untuk almarhum bapak saya, Mbah. Beliau baru meninggal tadi malam."

"AlhamduliLlah..."

Si laki-laki itu terkejut. Apa maksud Mbah Mad ini? Bapakku meninggal kok malah alhamduliLlah, gumamnya dalam hati.

Sesaat kemudian, Mbah Mad baru melanjutkan, "Inna liLlahi wa inna ilaiHi roji'un."

***

Hari ini ada acara haul—semacam peringatan tahunan hari wafatnya seseorang—dari seorang kiai di kota K. Kang Huda sedang memanasi mobil sambil menunggu Pak Yai Muntaha bersiap-siap. Pak Yai selalu rawuh karena memang yang diperingati adalah haul guru beliau.

"Sudah, Kang?" Tanya Pak Yai yang ternyata sudah selesai dan tampak sangat berwibawa.

"Sudah, Pak Yai." Jawab Kang Huda dengan takzim dan wajah tertunduk.

"Ayo berangkat sekarang."

"Nggih."

Pak Yai berangkat dengan Kang Huda saja sementara keluarga ndalem yang lain tidak ikut pergi karena untuk berjaga-jaga apabila ada tamu yang datang sekadar untuk berkunjung atau barangkali memang ada keperluan. Kang Huda sendiri memang sering diutus Pak Yai untuk menyopiri beliau jika akan bepergian jauh. Hitung-hitung sebagai teman mengobrol meski sebenarnya dia cuma lebih sering mendengar Pak Yai bertutur perihal apa pun.

“Guru Pak Yai namanya KH. Ahmad Soleh. Beliau itu sangat sabar kalau mengajar para santri.” Dhawuh Pak Yai membuka pembicaraan.

Kang Huda tetap fokus menyetir sembari menyimak Pak Yai bertutur. Sesekali dia melirik ke arah kiainya itu.

“Kalau ada tamu yang berkunjung, pasti beliau selalu menjamu mereka dengan makan meskipun seadanya. Pokoknya para tamu tidak diperkenankan pulang sebelum makan,” lanjut Pak Yai. “Beliau itu juga sering melazimkan zikir alhamduliLlah. Sampai-sampai waktu itu pernah ada seorang tamu yang meminta barokah doa karena bapaknya meninggal. Ketika tamu itu memberitahu bahwa bapaknya baru saja berpulang, beliau malah menyebut alhamduliLlah lebih dulu baru diteruskan dengan inna liLlahi wa inna ilaiHi roji’un.

Kang Huda masih menyimak Pak Yai bertutur. Begitu kira-kira yang sering terjadi ketika di dalam mobil.

Sampainya di tempat tujuan, Pak Yai segera turun dan berkumpul bersama para alumni pesantren yang lain. Kang Huda menunggu di samping mobil dan hanya memandang para orang-orang alim itu dari kejauhan. Tampak dari wajah mereka seperti memancarkan nuansa teduh dan menenangkan. Namun dari jajaran alumni di sana, ada seseorang yang cukup sepuh yang menarik perhatiannya. Wajah orang itu terlihat sangat bersinar seperti keluar cahaya dari tiap pori-pori kulitnya. Sebentar kemudian, orang itu tidak terlihat lagi seperti tiba-tiba pergi begitu saja.

Rangkaian acara pun dimulai. Diawali dengan pembukaan, pembacaan ayat suci al-Quran, sambutan ketua alumni, dan dilanjutkan dengan mauizah hasanah. Ketika yang mengisi mauizah naik ke atas panggung, ternyata beliau adalah seseorang yang tadi dilihat Kang Huda. Wajah beliau masih tampak begitu bercahaya entah karena apa. Kang Huda tetap merasa heran dan penasaran. Begitu mauizah selesai, acara selanjutnya yaitu tahlil dan ditutup dengan doa bersama.

Selesai acara, Pak Yai pun memutuskan untuk berpamitan dengan para alumni dan segera pulang karena ada urusan-urusan lain. Di mobil, Kang Huda sebenarnya ingin sekali menanyakan siapa yang mengisi mauizah tadi.

"Yang mengisi mauizah tadi itu teman sekamar Pak Yai waktu di pesantren,” ucap Pak Yai seperti sudah tahu apa yang ingin ditanyakan santrinya itu. “Namanya Abdul Karim. Wajahnya memang bercahaya sejak dulu. Selain alim, dia juga dianugerahi Allah Swt. banyak keistimewaan.”

Kang Huda tiba-tiba merasa tegang.

"Dulu itu pernah, entah sedang menguji ilmu atau apa, Pak Yai dibangunkan tengah malam dan diminta untuk menebas punggungnya.” Pak Yai melanjutkan. “Ajaibnya dia tidak terluka sama sekali. Luka gores pun tidak.”

 

Karya: A. Zulfa Muntafa

Rembang, Mei 2021

 



[1] Sebutan halus untuk rumah seorang kiai