ilustrasi: gemini.google.com |
Istilah kaderisasi berasal
dari kata “kader”. Kader pada mulanya berasal dari istilah militer atau
perjuangan yang berasal dari kata carde yang didefinisikan sebagai
pembinaan yang tetap pada sebuah pasukan inti yang sewaktu-waktu diperlukan.[1] Dalam
definisi menurut kamus ilmiah popular, kaderisasi adalah orang yang dididik
untuk melanjutkan tongkat estafet dari suatu partai atau organisasi.[2] Dapat
dipahami bahwa kader merupakan anggota dari suatu organisasi yang menerima
pendidikan untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Sementara kaderisasi
adalah serangkaian proses yang sudah disiapkan untuk membentuk kader sesuai
tujuan organisasi.
Kaderisasi menjadi hal yang vital bagi keberlangsungan sebuah organisasi, terutama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dikenal sebagai organisasi kaderisasi.[3] Organisasi yang sudah berdiri sejak tahun 1960 di Surabaya ini, telah berhasil melahirkan kader-kader terbaiknya melalui kaderisasi yang dirancang dan dilaksanakan hingga sekarang.
Untuk melahirkan kader-kader yang berkualitas, PMII telah menyiapkan 3 sistem kaderisasi yang akan menempa mereka. Secara bentuk kaderisasinya, PMII mengenal tiga macam sistem kaderisasi, yaitu kaderisasi formal, non formal dan informal. Ketiga sistem kaderisasi ini haruslah berjalan sama baiknya, guna menunjang keberhasilan dalam menciptakan kader yang berkualitas, baik di struktural tataran rayon, komisariat, cabang, koordinator cabang, sampai yang tertinggi yaitu Pengurus Besar (PB) PMII.
Dalam kaderisasi formal,
PMII menempa kadernya dalam 4 jenjang, yaitu Masa Penerimaan Anggota Baru
(MAPABA, Pelatihan Kader dasar (PKD), Pelatihan Kader Lanjut (PKL), dan Pelatihan
Kader Nasional (PKN). MAPABA merupakan kaderisasi formal pertama yang diadakan
oleh pengurus rayon atau komisariat sebagai pintu awal para anggota baru dalam
mengenal PMII. Setelah MAPABA, maka kader selanjutnya akan mengikuti PKD
sebagai jenjang kedua kaderisasi formal yang diadakan oleh pengurus komisariat
ataupun rayon. Setelah PKD, maka kader akan mengikuti tahap ketiga kaderisasi
formal di PMII, yaitu PKL. PKL sendiri akan diadakan oleh pengurus koordinator
cabang atau pengurus cabang. Terakhir, setelah kader dinyatakan lulus dari PKL,
maka akan mengikuti tahap terakhir dalam kaderisasi formal PMII, yaitu PKN yang
akan diselenggarakan oleh PB PMII.
MAPABA Sebagai Penanaman
Nilai PMII
Masa penerimaan anggota
baru (MAPABA) merupakan kaderisasi formal jenjang pertama yang diadakan oleh
PMII dalam tataran rayon/komisariat.[4] Seorang
mahasiswa yang akan menjadi anggota PMII harus menempuh jenjang pendidikan
paling awal, yakni MAPABA yang ini berarti PMII memakai sistem keanggotaan
stelsel aktif. Sebelum diterima sebagai anggota mereka harus mengucapkan bai’at
yang berisi ikrar kesediaan dan kesetiaan menjalankan serta menaati ketentuan
organisasi.[5]
Selain sebagai ajang penerimaan anggota baru, MAPABA memiliki tujuan agar terbentuknya
kader berkualitas mu’taqid. Kader mu’taqid adalah kader yang
yakin terhadap nilai-nilai PMII. Guna menelurkan kader mu’taqid, PMII
telah merumuskan struktur kurikulum, metode pelaksanaan dan rencana tindak
lanjut sebagai acuan sebelum pengurus rayon/komisariat melaksanakan MAPABA.[6] Sehingga,
pokok sentral yang akan dilaksanakan dalam kegiatan MAPABA adalah pengenalan
dan penanaman nilai ideologi PMII.[7] Diharapkan,
dengan adanya upaya mengenalkan dan menanamkan ideologi PMII, dapat memperbesar
kemungkinan lahirnya kader baru yang berkualitas mu’taqid.
Berbeda dengan jenjang
kaderisasi formal di atasnya yang Lebih mengedepankan keikutsertaan para
peserta atau pendekatan partisipatoris baik terpimpin dan tidak. Peserta di MAPABA
lebih terfokus pada penanaman doktrin secara dogmatis. Fokus ini kemudian di
terjemahkan menjadi penerapan pendekatan doktrinasi di MAPABA.
Pendekatan doktrinasi
adalah pendekatan yang melibatkan cara-cara di mana kurikulum didesain untuk
mencerminkan dan mempromosikan ideologi tertentu.[8] Pendekatan
ini sendiri merupakan pendekatan yang diturunkan dari strategi penanaman nilai
tradisional yang akan dilakukan dengan metode dogmatis dengan teknik
indoktrinasi.
Pola dari pendekatan
doktrinasi yang tadi disampaikan, seperti penerapan strategi tradisional,
pendekatan Doktrinasi, metode dogmatik dan teknik indoktrinasi merupakan
sistematika yang efektif untuk penanaman doktrin dengan membabi buta. Tidak
diragukan lagi hasilnya. Kader-kader yang dihasilkan akan memegang nilai-nilai
PMII dengan kuat. Mereka menerima apa-apa saja yang diberikan tanpa harus ada
pertimbangan secara rasional. Itulah keunggulan dari sistem yang ada di MAPABA
sekarang.
Meninjau Relevansi
Pendekatan Doktrinasi Di MAPABA
Setelah mengenal pendekatan
yang diterapkan di MAPABA beserta keunggulannya, kali ini kita akan mencoba
membedah kelemahan dari pendekatan ini. Pendekatan doktrinasi merupakan
pendekatan yang paling mudah dan efektif dalam menanamkan suatu nilai kepada
seseorang. Akan tetapi, keyakinan ataupun nilai yang ditanamkan melalui
pendekatan doktrinasi, biasanya tidaklah kuat. Selain itu, pendekatan
doktrinasi yang digunakan sebagai first impresion kepada kader
PMII berpotensi untuk membunuh nalar kritis mereka. Hal ini dikarenakan oleh
kader yang sedari awal dikenalkan dan ditanamkan nilai-nilai PMII tanpa melalui
pemikiran kritis mereka.
Meskipun tujuan dari MAPABA
untuk terbentuknya kader yang berkeyakinan atau mu’taqid, pendekatan
yang di terapkan tidak harus dengan pendekatan doktrinasi. Ada beberapa
pendekatan lain yang bisa menumbuhkan keyakinan pada diri kader, tapi tidak membunuh
nalar kritis mereka. Keyakinan yang kuat tidak perlu ditanamkan melalui doktrinasi.
Sebaliknya, keyakinan yang mendalam dan tulus sering kali dibangun melalui proses
mempertanyakan dan merefleksikan keyakinan tersebut.[9]
Selain itu, jika kita
melihat melalui kacamata psikologi perkembangan manusia, maka penerapan pendekatan
doktrinasi sungguh sangat tidak relevan untuk dilakukan. Melihat usia peserta
MAPABA yang biasanya diisi oleh mahasiswa baru program S1 biasanya berusia 18–22
tahun saat masuk perguruan tinggi. Secara psikologi perkembangan, mereka
umumnya berada dalam fase dewasa awal, yang ditandai dengan perkembangan
kognitif, emosional, dan sosial yang signifikan.[10] Pada
fase ini, individu mulai mengeksplorasi identitas, membangun hubungan intim,
dan menetapkan tujuan hidup.[11]
Seiring dengan bertambahnya
usia dan tanggung jawab, individu di usia dewasa awal menghadapi berbagai
tantangan dan tekanan. Pada tahap ini, mereka sering kali merasa terdesak untuk
mencapai keberhasilan dalam karier, membangun hubungan yang sehat, dan memenuhi
berbagai tuntutan sosial. Hubungan interpersonal menjadi aspek yang sangat
penting dalam fase ini. Hubungan tersebut bisa bersifat hangat, dekat, dan
komunikatif, dengan atau tanpa keterlibatan kontak seksual.
Keberhasilan dalam menjalin
hubungan intim menjadi krusial pada tahap ini. Jika seseorang gagal membentuk
hubungan yang intim dan bermakna, mereka berisiko mengalami isolasi sosial.
Isolasi ini dapat membuat individu merasa tersisih dari orang lain, mengalami
kesepian, dan menyalahkan diri sendiri karena merasa berbeda atau tidak mampu
menjalin hubungan seperti yang diharapkan.
Secara keseluruhan, masa
dewasa awal merupakan periode yang penuh dengan peluang dan tantangan. Ini
adalah masa ketika individu berusaha mengukuhkan identitas diri, mencapai
kemandirian, dan membangun dasar untuk masa depan yang stabil dan memuaskan.
Melihat para peserta MAPABA
yang berada di usia dewasa awal, tentu sistem yang digunakan juga harus sesuai
dengan karakteristik mereka. Pengukuhan identitas yang terjadi pada masa dewasa
awal mungkin akan terganggu dengan sistem yang menerapkan pendekatan
doktrinasi. Masa dewasa awal, yang biasanya mencakup usia sekitar 18 hingga 40
tahun, merupakan periode penting dalam perkembangan individu. Pada tahap ini,
seseorang mencari identitas dan kemandirian serta membuat keputusan yang akan
memengaruhi masa depannya.
Pendekatan doktrinasi yang lebih menekankan pada penanaman ideologi atau pandangan tertentu dengan cara yang cukup kaku dan kurang memberi ruang untuk diskusi atau pertanyaan, mungkin tidak sepenuhnya cocok dengan kebutuhan dan karakteristik masa dewasa awal. Hal ini terjadi karena beberapa faktor sebagai berikut :
- Kemandirian Berpikir: Individu di masa dewasa awal sering kali berada dalam proses mencari dan membangun identitas mereka sendiri. Mereka cenderung mencari pemahaman yang lebih mendalam dan kritis tentang dunia di sekitar mereka. Pendekatan doktrinasi yang kaku dapat menghambat perkembangan pemikiran kritis dan independen mereka. Hal ini tentu akan mengganggu proses kaderisasi PMII dalam menciptakan kader-kader yang kritis.
- Eksplorasi Identitas: Masa dewasa awal adalah periode di mana individu sering mengeksplorasi berbagai nilai, pandangan, dan keyakinan untuk menemukan apa yang paling sesuai dengan diri mereka. Pendekatan doktrinasi dapat menghalangi kesempatan mereka untuk mengeksplorasi berbagai perspektif dan membangun pemahaman yang lebih kompleks tentang dunia.
- Kebutuhan untuk Diskusi dan Refleksi: Pendekatan yang lebih terbuka dan dialogis, di mana individu didorong untuk bertanya, berdiskusi, dan merefleksikan ide-ide, cenderung lebih sesuai untuk fase ini. Diskusi terbuka memungkinkan individu mengembangkan pemikiran kritis dan memperluas wawasan mereka, yang sangat penting pada masa dewasa awal.
- Pembangunan Keterampilan Sosial dan Emosional: Di masa dewasa awal, individu fokus pada pembangunan keterampilan sosial dan emosional. Pendekatan yang mendukung keterampilan komunikasi, empati, dan pemecahan masalah akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan pendekatan yang kaku dan dogmatis.
MAPABA merupakan langkah
awal yang sangat krusial dalam kaderisasi di PMII dan sebagai jenjang formal
pertama, peranannya sangat menentukan dalam proses pembentukan karakter kader.
Mengingat pentingnya fase ini, pembiasaan sejak dini dalam pendekatan yang mendukung
berpikir kritis harus dimulai di MAPABA.
Sebuah Tawaran Baru Untuk
MAPABA
Sebagaimana telah
dijabarkan sebelumnya, perlu adanya perumusan ulang terkait sistem kaderisasi
di MAPABA, terutama dari segi pendekatannya. Pendekatan doktrinasi yang
merupakan bagian dari strategi tradisional harus segera digantikan. Tujuan
utama dari perubahan ini adalah agar kader-kader PMII sejak awal terbiasa dan
memahami bahwa PMII adalah tempat yang mendukung serta menumbuhkan berpikir
kritis. Perubahan untuk menggantikan pendekatan doktrinasi dengan pendekatan
yang lebih mendorong eksplorasi dan refleksi di MAPABA dapat memastikan bahwa
kader yang dihasilkan tidak hanya memahami teori dan doktrin, tetapi juga
memiliki kemampuan untuk berpikir analitis dan kritis.
Penulis sendiri memiliki 2
penawaran untuk diterapkan dalam melaksanakan MAPABA, yaitu pengadopsian
pendekatan partisipatoris terpimpin di PKD/pendekatan partisipatoris di PKL
dan PKN dan perumusan ulang strategi, pendekatan dan metode di MAPABA.
Opsi pertama yang berupa pengadopsian
pendekatan yang ada di PKD, PKL, dan PKN merupakan opsi paling realistis yang
dimiliki PMII saat ini. Opsi ini menjadi realistis karena keduanya sudah diterapkan
pada jenjang kaderisasi formal PMII itu sendiri. Sehingga, keduanya hanya
tinggal diaplikasikan atau di turunkan dalam pelaksanaan MAPABA, tanpa harus
dirumuskan dari ulang dan melalui serangkaian struktural yang rumit.
Tetapi, kedua opsi tersebut
bukanlah solusi sejati untuk diterapkan di MAPABA. Perlu adanya perombakan
terhadap sistematika agar menjadi jelas sebagai acuan pelaksanaan MAPABA.
Sistematika yang dimaksud adalah dengan memasukkan strategi, pendekatan, dan metode
yang harus diselaraskan dan akan dilaksanakan. Tidak bisa hanya dengan
mengganti pendekatannya saja.
Opsi kedua yang penulis
tawarkan adalah perombakan yang radikal di MAPABA. Perombakan ini dimulai dari penggabungan
antara strategi reflektif dan strategi bebas yang biasa digunakan dalam
penanaman nilai di dunia pendidikan, kemudian akan diturunkan menjadi
pendekatan dialogis dari pendidikan humanistik, kemudian akan dieksekusi
menggunakan metode dialog Socrates.
Strategi reflektif bebas
ini akan lebih menekankan pemahaman peserta terhadap nilai-nilai yang
ditanamkan. Melalui penjabaran nilai yang ditekankan pada strategi reflektif,
alur pembelajaran akan dilakukan dengan cara bolak-balik antara pendekatan
deduktif dan induktif. Sementara itu, peserta akan diberi kebebasan untuk
mempertanyakan nilai-nilai yang disampaikan, baik saat penyampaian nilai secara
deduktif maupun induktif. Dialog antara peserta dan pendidik akan terus
berlangsung hingga peserta yakin bahwa nilai yang ditanamkan benar dan memiliki
pemahaman yang mendalam terhadapnya.[12]
Strategi reflektif bebas
ini akan diejawantahkan melalui pendekatan dialogis. Pendekatan dialogis akan
mengajak siswa untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Dalam
pendekatan ini, peran pendidik berbeda dari biasanya. Alih-alih hanya
memberikan materi kepada siswa secara keseluruhan, guru berfungsi sebagai
fasilitator dan mitra dialog yang akan mendukung siswa dalam proses berpikir
dan berbicara bersama.[13] Pendekatan
dialogis berperan penting untuk memberikan kesempatan bagi mitra didik untuk
terlibat, bertanya, dan berpendapat dalam proses pencarian bersama. Dialog
dalam pembelajaran memungkinkan siswa untuk memahami materi pembelajaran dengan
lebih baik.
Pendekatan dialogis ini
nantinya akan di implementasikan melalui metode dialog Socrates. Metode dialog
socrates merupakan metode yang menekankan pada terjadinya dialog antara murid
dengan gurunya. Metode dialektik ini selalu membuat suatu dialog atau diskusi
yang bertentangan satu dengan yang lainya, dalam metode ini cara berpikir
seseorang akan diadu dengan yang lainnya.[14]
Dengan kata lain bahwa seorang yang terlibat dalam dialog atau diskusi dapat
memberikan arahan kepada orang lain untuk menentangnya, sehingga ini nantinya
memperkuat pandangannya.
Metode ini dilaksanakan dengan menyajikan materi pembelajaran terlebih dahulu sebagai pengantar, kemudian siswa dihadapkan dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan, dengan harapan bahwa siswa mampu menemukan suatu jawaban dari kecerdasan dan kemampuan berpikirnya sendiri.[15] Adapun langkah-langkah akan dilakukan sebagai berikut :
- Menyediakan dan mempersiapkan berbagai pertanyaan terkait nilai-nilai yang akan diajarkan untuk diajukan kepada peserta, serta memberikan tanda atau kode bila diperlukan, dengan tujuan akhir membentuk keyakinan para peserta terhadap nilai-nilai PMII.
- Pendidik memberikan pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan kepada peserta didik dengan harapan peserta didik mampu menjawabnya.
- Menuntun peserta didik bereksplorasi dalam menentukan nilai-nilai.
- Apabila pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dapat dijawab oleh peserta didik, maka sebagai pendidik dapat memberikan pertanyaan lainnya yang mengarahkan peserta didik dalam menyakini kebenaran nilai yang akan ditanamkan.
- Apabila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan belum ditemukan solusinya atau jawabannya, maka pendidik harus mengulangi pertanyaan itu kembali serta memberikan ilustrasi terkait pertanyaan tersebut agar memudahkan siswa untuk mencari solusi dan menemukan jawaban yang benar.
Kesimpulan
MAPABA sebagai langkah awal
dalam kaderisasi formal PMII memiliki peranan penting dalam membentuk karakter
dan keyakinan kader terhadap nilai-nilai PMII. Pendekatan doktrinasi yang
selama ini digunakan di MAPABA memiliki keunggulan dalam penanaman nilai secara
cepat dan terarah. Namun, pendekatan ini kurang relevan dengan karakteristik
perkembangan psikologis individu di usia dewasa awal, yang membutuhkan ruang
untuk eksplorasi, diskusi, dan refleksi.
Untuk menghadapi tantangan
ini, perlu adanya reformulasi sistem kaderisasi MAPABA, terutama dalam
pendekatan yang digunakan. Pendekatan dialogis dengan metode seperti dialog
Socrates dapat menjadi alternatif yang lebih relevan dan efektif. Melalui
pendekatan ini, peserta didik didorong untuk berpikir kritis, merefleksikan
nilai-nilai, dan membangun keyakinan yang mendalam melalui proses diskusi yang
interaktif dan inklusif.
Dengan reformulasi ini,
diharapkan kader PMII tidak hanya memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai
organisasi, tetapi juga kemampuan berpikir analitis dan kritis yang akan
menjadi bekal penting dalam perjalanan mereka sebagai anggota PMII.
Alexander, Robin. “Dialogic Teaching and the Study of Classroom Talk: A
Developmental Bibliography.” International Conference keynote address
44, no. 3 (2004): 103–111.
Andriano,
Nur Wahyu. Kaderisasi PMII Berbasis Pendidikan. Tangerang: CV. Anagraf
Indonesia, 2024.
Apple,
Michael W. Ideology and Curriculum. Routledge, 2004.
Fattah,
Nanang. Landasan Management Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosadah
Karya, 1999.
Fauzan
Alfas. PMII Dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan. Jakarta: .PB PMII,
2015.
Feyerabend,
Paul. Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge,
1975.
Hurlock,
Elizabeth B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Gramedia, 1980.
Khaliq,
Idham, Aulia Azzahra, Alsavira Safitri, and Rahmita Nurul Muthmainnah. “Upaya
Meningkatkan Daya Berpikir Kritis Matematis Siswa Dengan Menggunakan Metode
Socrates Kontekstual.” FIBONACCI: Jurnal Pendidikan Matematika dan
Matematika 3, no. 1 (2017): 23.
Pangestuti,
Dhewi Setyo, Nur Latifah, and Sa’odah Sa’odah. “Pengaruh Metode Socriates
Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas V.” Wacana Akademika: Majalah
Ilmiah Kependidikan 3, no. 1 (2019).
Partanto,
Pius A., and M. Dahlan Al Bahry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Rkola,
1994.
PMII,
Pengurus Besar. “Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga Kongres XX PMII
2021” (2021): 0–36.
PMII,
PENGURUS BESAR. “Muspimnas 2022.” Muspimnas 2022 Tulungagung-Jawa Timur
(n.d.).
Santrock,
J. W. A Topical Approach to Life-Span Development International Edition.
New York: McGraw-Hill Inc, 2002.
[1] Nanang Fattah, Landasan
Management Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosadah Karya, 1999).
[2] Pius A. Partanto and M. Dahlan Al Bahry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Rkola,
1994).
[3] Nur Wahyu Andriano, Kaderisasi PMII Berbasis Pendidikan (Tangerang: CV. Anagraf
Indonesia, 2024).
[4] Pengurus Besar PMII, “Anggaran Dasar & Anggaran
Rumah Tangga Kongres XX PMII 2021” (2021): 0–36.
[5] Fauzan Alfas, PMII
Dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan, Jakarta:
.PB PMII, 2015.
[6] PENGURUS BESAR PMII, “Muspimnas 2022,” Muspimnas 2022 Tulungagung-Jawa Timur
(n.d.).
[7] Andriano, Kaderisasi
PMII Berbasis Pendidikan.
[8] Michael W. Apple, Ideology
and Curriculum (Routledge, 2004).
[9] Paul Feyerabend, Against
Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge, 1975.
[10] J. W. Santrock, A
Topical Approach to Life-Span Development International Edition (New York:
McGraw-Hill Inc, 2002).
[11] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan
(Jakarta: Gramedia, 1980).
[12] Andriano, Kaderisasi
PMII Berbasis Pendidikan.
[13] Robin Alexander, “Dialogic Teaching and the Study of
Classroom Talk: A Developmental Bibliography,” International Conference keynote address 44, no. 3 (2004): 103–111.
[14] Idham Khaliq et al., “Upaya Meningkatkan Daya Berpikir
Kritis Matematis Siswa Dengan Menggunakan Metode Socrates Kontekstual,” FIBONACCI: Jurnal Pendidikan Matematika dan
Matematika 3, no. 1 (2017): 23.
[15] Dhewi Setyo Pangestuti, Nur Latifah, and Sa’odah
Sa’odah, “Pengaruh Metode Socriates Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Kelas V,” Wacana Akademika: Majalah
Ilmiah Kependidikan 3, no. 1 (2019).
Penulis: Nur Wahyu Andriano
0 Komentar