Pict by : pinterest

Di tengah dunia yang kian bising dan cepat berubah, ada satu hal yang tetap menjadi tempat pulang: keluarga. Dan di antara banyak kisah keluarga, izinkan saya menuliskan satu kisah sederhana tapi penuh makna tentang keluarga besar H. Ahmad Masyhar dan Hj. Sumini (yang setelah berhaji dikenal sebagai HJ. Nor Solikah). Kisah ini bukan dongeng, tapi kenyataan yang hidup di sekitar saya, setiap hari.


Pasangan ini dikaruniai tujuh anak: enam perempuan dan satu laki-laki. Anak-anak perempuan mereka semua memilih jalan pengabdian di dunia Pendidikan tiga menjadi kepala sekolah dasar, satu menjadi kepala TK, dua lainnya menjadi guru SD (salah satunya ibu saya, Sri Noor Aini). Satu-satunya anak laki-laki, yang bungsu, kini berprofesi sebagai pengusaha dibidang kontraktor, membawa warna tersendiri di tengah barisan pendidik perempuan.


Namun cerita ini bukan tentang profesi. Ini adalah cerita tentang keharmonisan. Tentang bagaimana tujuh anak tumbuh dan tetap erat. Tentang bagaimana rumah tua itu tak pernah kehilangan tawa. Tentang bagaimana anak-anak nomor 4, 5, 6, dan 7 hampir setiap hari hadir menemani sang ibu, memelihara kasih sayang dengan laku, bukan sekadar kata.


Dari kisah ini, lahirlah tiga kutipan reflektif yang saya percaya bukan hanya milik keluarga kami, tapi bisa menjadi pengingat bagi siapa pun:


1. “Sudah menjadi orang tua, kita tetap masih butuh orang tua, baik dalam keadaan masih hidup maupun telah kembali ke pangkuan Tuhan.”


Tak peduli seberapa tua, setinggi apa jabatan, atau sejauh apa langkah hidup membawa kita kerinduan akan orang tua selalu tinggal. Saat mereka masih hidup, kita mencari nasihat dan pelukannya. Saat mereka telah tiada, kita mencari keberkahan dari doa-doa yang pernah mereka panjatkan. Karena kasih orang tua adalah satu-satunya sumber cinta yang tak pernah berkurang, bahkan setelah kematian.


2. “Sebelum kamu mencium tangan kiai, ustadz, dosen, senior, bos, atau pemimpinmu pastikan kau telah mencium tangan ibumu dan ayahmu terlebih dahulu. Tak ada jimat yang lebih dahsyat daripada ridha orang tua.”


Kita diajari untuk menghormati banyak orang dalam hidup ini. Tapi sering lupa, penghormatan paling utama seharusnya ditujukan kepada mereka yang pertama kali mengangkat kita saat jatuh, menyuapi kita saat lapar, dan menangis dalam diam saat kita terluka: orang tua. Ridha orang tua bukan sekadar restu, tapi jalan lapang menuju keberkahan hidup.


3. “Janganlah kamu berbicara lantang di depan ibumu yang dahulu dengan sabar mengajarimu berbicara.”


Seringkali, kita belajar sopan kepada orang luar, namun lupa bersikap lembut kepada orang yang paling berjasa. Padahal ibu adalah guru pertama mengajarkan kita satu-satu suku kata, menahan tangisnya agar anaknya bisa tersenyum. Berbicara dengan lembut padanya bukan basa-basi, tapi bentuk cinta yang paling tulus dan sepatutnya.


Rumah, Tempat Semua Doa Bermula


Kisah keluarga H. Ahmad Masyhar dan Hj. Sumini bukan tentang kesempurnaan. Tapi tentang usaha untuk saling menjaga. Tentang anak-anak yang tak pernah merasa terlalu tinggi untuk kembali ke rumah. Tentang waktu yang mungkin memisah secara fisik, tapi tak pernah mampu menjauhkan hati mereka dari satu sama lain.


Di rumah tua itu, saya belajar bahwa menjadi keluarga bukan hanya perkara darah. Tapi tentang kesediaan untuk hadir, untuk mendoakan, untuk mencintai tanpa syarat. Rumah ini tidak dibangun dengan batu bata semata, tapi dengan kesabaran, doa, dan cinta yang tak bersyarat dari orang tua kepada anak-anaknya dan sebaliknya.


Semoga siapa pun yang membaca kisah ini, bisa teringat kembali pada orang tuanya. Pada kakaknya, adiknya, keluarganya. Sebab di tengah dunia yang mengajari kita cara bertarung dan menang, rumah adalah satu-satunya tempat yang mengajarkan kita cara mencintai dan bertahan.


Dan semoga, dalam sunyi yang kadang datang, kita masih bisa mendengar gema suara ibu dari dapur rumah kita, yang dulu memanggil dengan penuh cinta: "Nang, maem rien nggeh (Nak, makan dulu ya) ".

Oleh : Muhammad Novan Heromando

Editor : Nadiyya