penulis: az-ad

Semarang panas.. Ngaliyan panas.. bahkan katanya Pasar Jerakah ibarat planet yang memiliki orbit sendiri dan letaknya sangat dekat dengan matahari: salah satu pusat tata surya dalam galaksi andromeda. Ada-ada saja bukan?

Walaupun kadang mendung, tapi tak sampai mengubah mindset masyarakat Ngaliyan kalau di sini memang panas. Bukan hanya sengatan matahari, lalu-lalang kendaraan yang begitu padat, kepulan asap pabrik Kawasan Industri Candi dan Tambak Aji yang secara geografis mengapit bumi Ngaliyan, atau saking banyaknya populasi manusia yang berebut oksigen bersamaan dengan mereka memproduksi emisi karbon seenaknya. Kita semua merasakan dan mulai gerah.

Tidak hanya seputar Pasar Jerakah dan Ngaliyan. Melihat anomali ini, semua penjuru sektor dunia dihantui masalah yang sama. Isu global warming selalu menjadi perbincangan hangat (namanya juga warming) akhir dekade ini. Menurut laporan IPCC perubahan iklim hari ini telah mencapai keadaan darurat. Perbedaan suhu 0,5 derajat celcius saja bisa berakibat pada keselamatan puluhan juta orang dan musnahnya ekosistem. Yah, walaupun beberapa aktor politik mengatakan bahwa perubahan iklim hanya Hoaks, entah kepentingan apa yang merasukinya.

Padahal secara tidak langsung kita semua nyaris mengerti, iklim tidak karuan ini mengakibatkan kekeringan yang berdampak pada ketidaksediaan air bersih,  kebakaran hutan dan lahan, naiknya air laut sebab semakin mencairnya gunung es, serta banyak kerugian lainnya. Pun kita tidak bakal puas hanya dengan himbauan BMKG agar masyarakat menjaga pola minum untuk menghindari dehidrasi atau mengenakan pakaian yang melindungi kulit ketika ke luar ruangan.

La wong yang terjadi air bersih dikotori limbah pabrik, hutan dan lahan dibakar untuk ditanami sawit” Celoteh mahasiswa Ngaliyan tiba-tiba ngegas.

Berangkat dari kekecewaan dan ketakutan hari ini membikin segelintir orang berspekulasi terkait kondisi iklim masa depan. Ketika semua orang sibuk memikirkan kebutuhan jangka pendek: kepentingan-kepentingan individu atau sekelompok saja yang memperkosa alam raya. Kita diperkenalkan dengan sosok perempuan milenial muda tangguh bersama poster bawaannya yang bertuliskan SKOLSTREJK FOR KLIMATET.


Greta Thunberg, usianya baru 16 tahun sekarang. Tahun 2018 silam, Ia turun ke jalan sorang diri, bolos sekolah untuk melakukan protes di emper gedung parlemen Swedia. Duduk sendirian hanya bermodalkan poster bertuliskan “Skolstrejk for klimatet” atau “Mogok sekolah untuk iklim” namun sangat konsisten menyuarakan pesan singkat yang sangat menampar dunia itu.

Benar saja, dengan kelayakan teknologi abad 21 foto Greta yang sangat ikonik dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan berhasil menarik perhatian kalangan muda untuk ikut turun ke jalan menyuarakan perubahan iklim. Higga akhirnya ia memutuskan untuk melakukan aksi protesnya bersuara serentak secara massif setiap hari Jum’at dalam gerakan FridaysForFuture.

Trendingnya tagar #FridaysForFuture dan #SchoolStrikeforClimate di media sosial membikin gerakan ini semakin meluas. Terhitung ratusan ribu anak-anak sekolah dari ratusan kota di Australia, Belgia, Kanada, Belanda, Jerman, Finlandia, Denmark, Jepang, Swiss, Inggris, dan Amerika ikut serta dalam gerakan menyuarakan krisis iklim. Tak peduli lagi teguran menteri pendidikan dan petingi-petinggi sekolah, ketika kesadaran tumbuh atas darurat iklim yang sangat membahayakan masa depan, perlu ada reaksi hingga mereka tetap memilih turun ke jalan.

Memang, cukup disayangkan gerakan serentak ini tak terlalu populer di Indonesia. Mengingiat negara ini adalah salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia dengan karhutlanya, arah perencanaan dan pembangunan pun masih bergantung pada sektor energi kotor seperti batu bara, minyak dan gas. Belum ada arah perpolitikan yang jelas dalam memilah-memilih energi yang berkeadilan. Kita sempat melihat di beberapa titik kota di Indonesia, melakukan long march menyuarakan #ClimateStrike atau #Pukulmundurkrisisiklim namun tidak sespektakuler dan menghasilkan seperti di beberapa Negara lain yang pada saat yang sama serentak 150 negara di belahan dunia menuntut keadilan iklim.

Harusnya gerakan dan perlawanan yang dilakukan oleh Greta ini menjadi peringatan, bahwa siapapun sangat boleh berbincang soal perubahan iklim. Dari seorang Greta yang melawan sendirian, kini seluruh dunia bersamanya. Termasuk masyarakat Ngaliyan yang meronta kepanasan, dengan mengunggah screenshoot sekian derajat celcius di story WA bercaption ala-ala manusia paling lelah seantero dunia.

Untuk mengakhiri tulisan singkat ini rasanya tak etis menyoal iklim hanya memunculkan kesimpulan belaka. Tak ada kesimpulan namun perlu ada penyadaran, sekecil apapun. Apa yang kita lakukan sehari-hari, dari satu orang menghasilkan berapa emisi, satu Ngaliyan, satu kota –satu dunia. Apa hari ini kita sadar ketika menyalakan motor berapa emisi karbon yang kita keluarkan, padahal perginya dekat, hanya beli rokok, tentu sangat bisa ditempuh dengan jalan kaki atau bersepeda. Atau ketika menyalakan kompor? Memakan daging sapi? Menyalakan kipas angin? Kita tak pernah memikirkan itu.

Barangkali kita pernah sependapat bahwa masyarakat sipil tak sepatutnya disalahkan atau disamaratakan kesalahannya atas perubahan iklim, karena kurang lebih 80% emisi karbon dihasilkan oleh kebakaran hutan dan lahan yang hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dan pemerintah yang pro-oligarki. Namun lain cerita jika kita beranjak ke paragraf terakhir, semoga menjadi bahan perenungan kita semua untuk segera bergerak.

Coba sejenak berkontemplasi, kita renungkan suara-suara Greta ketika diundang di berbagai forum diskusi. Dalam pidatonya berjudul “Our House is on Fire” jika diartikan “Rumah kita terbakar”. Greta mengatakan bahwa ia dan generasinya tak membutuhkan sekadar harapan. Ia ingin orang-orang dewasa panik dan ketakutan seperti yang ia rasakan. Sehingga orang-orang dewasa bertindak seakan-akan diri mereka berada di tengah krisis ilim, seakan mereka berada dalam rumah yang terbakar. Ya! Terbakar dan ketakutan dalam krisis iklim yang mematikan.

Ilustrasi: az-ad
Catatan-catatan: