Oleh : M. Husni Mushonifin

Sebenarnya saya bingung harus nulis apa saat diminta direktur LKaP untuk mengirim tulisan. Enggak ada terbesit sama sekali inspirasi untuk menulis. Akhirnya saya tulis saja sebuah pengamatan sederhana berlatar belakang pengalaman. Mungkin tulisan bernada curhat boleh kali ya saya tampilkan di sini. Tidak seilmiah harapan direktur LKaP memang, tapi semoga bisa dinikmati.

Tulisan ini, walaupun tentang perempuan, sebenarnya juga bukan  terpengaruh oleh wacana gender. Ini hanya sebatas pengalaman saya dalam pergaulan dengan teman perempuan sehari-hari. mereka adalah teman kuliah, teman kerja, teman organisasi, dan beberapa dari mereka ada yang menjadi teman ngobrol. Serta sebagian referensi juga saya ambil dari sumber-sumber subjektif yang berserakan di google dan youtube.

Mereka, yang saya kenal, rata-rata adalah perempuan yang peduli, peka, cermat, pokoknya hal-hal yang sifatnya dewasa ada pada teman perempuan saya (sekalipun umur mereka ada yang lebih muda hingga 9-10 tahun). Sementara laki-laki itu umumnya “susah” dewasa hingga umur berapapun. Itu bisa dibuktikan ketika laki-laki dan perempuan berpasangan, bisa dilihat siapa yang lebih dewasa walapun si laki-laki usianya lebih tua.

Kenapa begitu? Karena laki-laki pada saat lahir hingga tumbuh besar, mereka seolah-olah tidak banyak aturan dalam hidupnya. Jika laki-laki tidak begitu dapat nilai yang baik saat sekolah, tidak begitu dimarahi, bahkan saat pendidikannya berantakan juga seperti tidak ada yang menohok muka mereka secara langsung sekalipun gunjingan tetap ada, saya sendiri sudah merasakan itu. Kalau laki-laki itu bandel atau nakal, ada semacam persepsi “yaa  laki-laki memang kayak gitu”. Kalo semisal kamarnya berantakan, tidak bisa mengatur waktu, atau kurang disiplin, “yaa laki-laki memang kayak gitu”. Kesalahan dan pelanggaran serta ketidakdewasaan laki-laki itu seolah-olah dimaklumi (sekali lagi, walaupun ada yang menggunjing).

Kebanyakan laki-laki, punya kecenderungan membrandal, sekalipun tidak semua berhasil membrandal, mereka juga terkesan ada sisi joroknya. Tidak berfikir dalam jangka panjang, dan banyak perempuan yang bilang laki-laki adalah makhluk yang tidak peka. Kenapa demikian? Sekali lagi karena laki-laki seolah-olah  tidak banyak peraturannya. Sekalipun ada sedikit laki-laki yang bisa mengikat diri dalam peraturan dan kedisiplinan, namun kebanyakan hidup mereka dibiarkan begitu saja lepas dari aturan. Laki-laki yang terpenting hidup mandiri dan cari uang. 

Bahkan ada sebagian kecil masyarakat yang seola-olah memiliki pemahaman bahwa jika seorang suami lelah dalam bekerja, maka biarkan saja dia mencari “kesenangan” di luar dan si istri harus memakluminya. 

Berbeda dengan laki-laki, masyarakat kita menaruh banyak ekspektasi pada perempuan, terutama perihal kepribadian dan urusan domestic. Perempuan dari kecil dididik untuk tampil begini, tampil begitu, cara jalannya begini dan begitu, harus memperhitungkan perasaan orang lain kalau bicara, jangan sembarangan bicara, jangan egois, tanya dulu maunya orang apa, turuti kemauan orang lain, senangkan orang lain, bahagiakan orang lain. Perempuan dari kecil itu peraturannya segudang, dari urusan tubuh, pakaian, rumah dan perkakas rumah, hingga mengatur perasaan orang lain yang dia tidak menegerti. Makanya jangan heran jika kebanyakan perempuan rata-rata rigid dalam berfikir, dan selalu banyak pertimbangan serta selalu mendahulukan “kepantasan”di ruang publik, berbeda dengan laki-laki yang berfikir “pantas tidak pantas yang penting laku”. Seolah-olah masyarakat kita menuntut agar perempuan harus lebih cepat dewasa dari laki-laki.

Tapi di sisi lain, di sisi seberang dari tuntutan kedewasaan itu, perempuan jadi ketakutan. Kenapa? Karena terlalu banyak yang harus dia senangkan. Bahkan dia tidak berani untuk menyenangkan dirinya sendiri. Dalam alam bawah sadarnya, akhirnya dia akan merasa senag jika kehadirannya juga membuat orang lain senang. Biasanya perempuan akan down ketika penampilannya dianggap tidak menarik, karena itu berarti orang disekitarnya tak senang dengan penampilannya.

Dalam berpenampilan, perempuan akan sangat mempertimbangkan kepantasan, kemenarikan, dan kecantikan. Kenapa demikian? Karena memang begitulah masyarakat memandang perempuan. Maka jangan salahkan perempuan jika dandan terlalu lama, bedak terlalu tebal, pakaian kadang-kadang rempong, atau bicaranya dihalus-haluskan. Itu semua demi memenuhi ekspektasi masyarakat yang cenderung erotis cara pandangnya terhadap perempuan.

Dalam dunia pendidikan semisal, perempuan akan dilihat aneh, minimal terlihat tidak biasa, ketika memilih jurusan teknik mesin atau sipil karena pekerjaan ini identik dengan laki-laki. Demikianpun ketika beberapa waktu lalu ada kontraktor perempuan yang sukses membangun jembatan layang di Jakarta dengan tingkat kelengkungan terpanjang di dunia, yang jarang orang bisa membangun jembatan layang seperti itu. Semua orang memujinya seperti makhluk langka, dia disebut sebagai perempuan hebat. Kenapa demikian? Karena selama ini perempuan jarang sekali bekerja dibidang teknik sipil yang terlanjur distigma sebagai pekerjaan laki-laki.

Dalam sebuah forum, biasanya kebanyakan perempuan kurang memberikan masukan atau gagasan. Seandainya dia punya gagasan, atau bahkan sanggahan, dia akan membisikkan kepada teman laki-laki di sebelahnya, dia sungkan untuk langsung bilang di forum. Dia takut dianggap menentang forum atau bahkan takut dianggap “nakal”banyak ngomong, padahal hanya sekedar berpendapat. 

Hal itu sebenarnya adalah ketidakadilan, tapi itu sudah dianggap wajar. Akhirnya laki-laki selalu mendominasi. Padahal ada juga perempuan yang berani mengeluarkan gagasan yang kemudian gagasannya diikuti banyak orang walaupun melalu peredebatan panjang dan sangat tidak mengenakkan buat perempuan. Tapi hanya dengan cara seperti itu, hanya dengan keberanian seperti itulah perempuan akan setara dengan laki-lakai bahkan melebihinya.

Ilustrasi: az-ad