Oleh: Yulita Putri

pmiigusdur.com - Akhir-akhir ini ratusan Negara di dunia dirundung kecemasan dan kepanikan karena outbreak atau ledakan jumlah penyakit secara tiba-tiba di suatu area yang diakibatkan oleh Coronavirus. Yaitu, keluarga besar corona yang merupakan penyebab sakit pernapasan seperti MERS-CoV dan SARS-CoV. Penyakit pernapasan model baru ini akhirnya disebut SARS-CoV-2 atau sekarang kita mengenalnya dengan COVID-19. Penyakit ini bermula terjadi di Wuhan, China yang semula endemi, kini telah menjadi pandemi.

Penyebaran COVID-19 telah sampai di Indonesia. Negara dengan jumlah penduduk lebih dari 269 juta jiwa ini harus menerima kenyataan bahwa setelah Cina, Korea Selatan, Itali, Amerika, dan negara lainnya, Indonesia harus terpaksa membuka pintu rumah menjamu virus COVID-19. Dalam menjamu kedatangan COVID-19 ini, berbagai perilaku masyarakat patut untuk kita soroti.

Beberapa pekan terakhir, di tengah-tengah kepanikan dan ketegangan yang terjadi. Publik dihebohkan dengan panic buying, yaitu sebuah fenomena mengambil barang-barang penting dari orang-orang yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan (rentan). Selain itu, selalu ada orang-orang yang mencari keuntungan dan menyisipkan kepentingan lewat berbagai produk kebutuhan yang menjadi pokok seperti halnya masker dan antiseptic yang harganya melonjak naik lebih dari 80%. Beberapa rumah sakit juga ada yang menolak pasien yang positif corona karena dianggap menghambat perputaran bisnis di dalam rumah sakit tersebut (selengkapnya dapat anda lihat pada podcast Daddy Corbuzier saat mewawancarai juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 yaitu Achmad Yuriatno).

Sebenarnya, banyak hal-hal yang terjadi sebagai bentuk respon dari COVID-19 yang patut amat disayangkan. Mulai dari awal pejabat kita justru menganggap remeh virus ini dengan malah memberi diskon untuk pariwisata, membebaskan pajak hotel, sampai kebal virus karena doyan nasi kucing. Namun sudahlah, ini bukan waktunya untuk saling menghujat. Dalam keadaan ini justru sangat memerlukan kebersamaan, bahu membahu, dan saling menguatkan satu sama lain.

Melihat hal tersebut, saya menjadi teringat dengan sebuah lagu yang rilis pada tahun 1971, atau tepatnya 41 tahun yang lalu yaitu “Imagine”. Sebuah lagu yang dinyanyikan oleh pentolan The Beatles: John Lennon. Lagu ini menurut saya mengandung pesan yang mendalam dan seharusnya berhasil menelanjangi kerakusan dan ketidakberprikemanusiaan (Inhumaneness) dalam merespon wabah corona. Sesuai dengan judulnya “Imagine” apakah kedamaian dan pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan adalah sesuatu yang hanya bisa dibayangkan? Mari kita renungi baik-baik setiap baitnya.

Imagine there’s no heaven, it’s easy if you try, no hell below us, above us only sky, imagine all the people, living for today.

Bayangkanlah tak ada surga, mudah bila engkau mau berusaha, tak ada neraka di bawah kita, di atas kita hanyalah langit, bayangkanlah semua orang hidup hanya hari ini.

Imagine there’s no countries, it is’nt hard to do, nothing to kill or die for, no religion too, imagine all the people, living life in peace.

Bayangkanlah tak ada negara, tidak sulit melakukannya, tak ada alasan untuk membunuh dan terbunuh, juga tak ada agama, bayangkan semua orang menjalani hidup dalam damai.

You may say Im a Dreamer, but Im not the only one, I hope some day you’ll join us, and the world will lives as ones.

Mungkin engkau kan berkata aku seorang pemimpi, tapi aku bukanlah satau-satunya, kuharap suatu saat engkau kan bergabung bersama kami dan dunia kan bersatu.

“imagine no possessions, I wonder if you can, no need for greed or hunger, A brotherhood of man, imagine of the people, sharing all the word.

Bayangkan tak ada harta benda, aku ragu apakah kau mampu, tak perlu rakus ataupun lapar, persaudaraan manusia, bayangkan semua orang, berbagi dunia ini.


Penulis adalah warga Bandar Lampung yang berusaha mewakili dirinya sendiri dalam menulis.
Editor: Eykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com