Doc. Internet


                            Oleh : Achwan A. Ihsan

Memang agak susah diterima awam, pensiunan perwira tinggi militer sampai hati terlibat kejahatan. Makar apalagi, sebuah extraordinary crime, kejahatan tingkat tinggi. Mengejutkan, memicu berbagai kontroversi, bahkan mungkin sulit dipercaya oleh kalangan yang mengidolakan sosok seorang tentara. Termasuk saya waktu kecil, mengagumi sosok Jenderal Soedirman, nyentriknya Kolonel Moammar Gadaffi (Libya) dan kecerdasan Marsekal Edwin Johannes Rommel (Jerman) yang pernah saya baca di sebuah majalah lama. Selain itu saya juga pernah bercita-cita menjadi pilot pesawat tempur, sebelum suatu hal mengubah cita-cita saya waktu itu, mau jadi bajak laut saja lah!

Di tanah air, seperti umumnya angkatan bersenjata lain, citra tentara secara personal maupun korps dibangun sedemikian rupa dengan kesan terhormat, tegas, maskulin, penjaga kedaulatan nasional, patriotik, manunggal dengan rakyat dan seterusnya. Pokoknya, bagi para penggemar seragam doreng, sosok gagah lengkap dengan berbagai aksesoris, brevet, deretan kepangkatan, gaya pidato, yel-yel dan segala kesan heroik itu, mustahil tega melakukan kejahatan apalagi dengan tuduhan mendalangi kerusuhan yang berujung tewasnya beberapa orang.

Maklum, pembangunan citra tentang sosok tentara ini sangat mendominasi teras percakapan publik melalui kurikulum, sejarah, akun media sosial, film-film, seminar atau monumen-monumen (terlebih pada masa Orde Baru). Karakter kuat yang melebihi pengaruh korps abdi negara lain seperti kepolisian, petugas dinas perhubungan, akuntan negara, petugas bea cukai, tim SAR, pemadam kebakaran, atau pamong praja lainnya. Berdasarkan catatan, dalam kehidupan pasca reformasi ini, sejak dicabutnya Dwifungsi ABRI, aksi bersenjata skala besar yang dikategorikan operasi militer hampir tak pernah dilakukan dalam hal yang dikesankan diatas.

Sejauh yang saya baca, aksi-aksi tentara yang cukup membuat mereka berkeringat saat ini mungkin ketika dikirim menjadi kontingen pasukan penjaga perdamaian di negara konflik, kontak senjata dengan kawanan pemberontak di pedalaman hutan, kejar-kejaran dengan kapal nelayan asing yang memasuki perairan Indonesia atau ikut lomba menembak militer, hingga latihan gabungan dengan militer negara lain (tawuran dengan korps lain tidak termasuk). Maka jangan heran jika beberapa petinggi Mabes TNI memiliki cukup punya waktu luang mengurus sebuah klub sepakbola yang menjadi peserta Liga 1 Indonesia.

TNI tercatat belum pernah lagi konfrontasi militer dengan serangan bersenjata dari luar, dari militer negara lain. Para prajurit TNI praktis hanya berlatih, berjaga, apel atau membantu Polisi melakukan pengamanan jika ada peristiwa besar. Sedangkan para perwira menjalani aktifitas kantor atau menghadiri kunjungan kerja lain. Berbeda dengan militer negara-negara adikuasa: Amerika, Rusia atau negara yang tergabung dalam aliansi militer semacam NATO (North Atlantic Treaty Organisation), yang selalu memiliki proyek pertempuran di negara-negara lain.

Dengan slogan perang melawan teror, para prajurit negara adikuasa merasakan atmosfer pertempuran sebenarnya. Menghadapi milisi yang nyaris sama terlatihnya. Di banyak medan laga, jika tak membunuh, ya dibunuh. Maka tak heran, banyak veteran perang yang mengalami cacat permanen, kesulitan bersosialisasi dengan lingkungan sipil, trauma perang atau mengidap obsesi kompulsif yang mengubah mereka menjadi kriminal hingga terlibat aktif di jaringan mafia. Banyak desertir (lari dari dinas kemiliteran) yang akhirnya bergabung dengan kartel narkotika, pemasok senjata ilegal untuk kelompok teroris atau jaringan kejahatan lain.

Kesan tentang tentara di tanah air nyaris tanpa cacat. Disegani, dikagumi, dihormati sekaligus ditakuti dalam waktu yang bersamaan. Baik dalam kapasitas sebagai Aparat, Oknum maupun Prajurit. Tiga dimensi sikap, karakter dan fungsi yang memungkinkan ada dalam satu seragam. Berbeda dengan Korps Kepolisian yang dalam pandangan masyarakat awam, relatif tak disukai karena berbagai gesekan sosial terkait tugas pokoknya sebagai penegak hukum di lapangan. Jika semisal ada tentara berkelahi dengan anggota polisi di jalanan karena masalah pribadi, mungkin orang akan lebih membela tentara, sebab kesan-kesan yang terbangun tersebut.

Dalam kondisi ini saya jadi ingat sebuah film bagus yang saya tonton pertama kali, hasil download dari internet. Film ini digarap melalui rumah produksi Paramount Pictures. Diadaptasi dari serial novel thriller-kriminal dengan judul yang sama. Karya novelis kenamaan Inggris, Lee Child. Jack Reacher, nama sang tokoh utama, sukses diperankan oleh aktor kondang, Tom Cruise.

Edisi pertama film ini digarap oleh sutradara papan atas yang mengarsiteki serial Mission Imposible, Christopher McQuarrie. Tayang perdana di bioskop seluruh dunia pada Desember 2012, dengan judul "Jack Reacher : One Shot". Film ini sukses masuk jajaran Top Box Office dengan meraup keuntungan sebanyak 218 juta dolar AS. Sedangkan sekuel kedua dengan judul "Jack Reacher : Never Go Back", disutradarai Edward Zick, rilis pada Oktober 2016 dan mengumpulkan keuntungan sebesar 162 juta dolar AS.

Jack Reacher, lahir dari keluarga dengan tradisi militer yang kuat. Ia menerima berbagai pengharhargaan dan bintang jasa dari pemerintah AS ketika masih bertugas di Lebanon dan beberapa pangkalan lain. Jack juga seorang penembak jitu alamiah yang pernah memenangkan turnamen bergengsi yang diselenggarakan satuan Marinir AS, Wimbledon, ketika masih berpangkat letnan.

Karir militernya mengkilap, saat bertugas dalam beberapa operasi militer. Dengan segala kecakapan kepemimpinan dan intelektualnya ia dipromosikan menjadi Komandan Polisi Militer di kompleks Akademi Militer AS di West Point, New York, dengan pangkat Mayor. Singkat cerita, ia mengundurkan diri dari kesatuan karena suatu sebab yang masih misterius, ia tak membicarakannya kepada siapapun.

Ia merasa prosedur hukum yang diterapkan birokrasi militer untuk kasus-kasus kriminal dan indisipliner yang dilakukan oleh tentara aktif tidak berjalan baik, bertele-tele dan manipulatif. Banyak tentara yang melakukan tindakan kriminal ringan hingga berat mudah lolos tuntutan hukum, terutama perwira tinggi. Ia muak dengan semua kondisi itu, lalu mengajukan pensiun dini.

Sebenarnya ia pribadi yang hangat dan bersahabat, easy going, sama sekali tidak angker. Ia berpindah-pindah dari satu penginapan ke penginapan lain, atau sesekali mengunjungi rekan sesama pensiunan yang menyepi di pedesaan. Jack tak memiliki KTP, tanpa rekening, tanpa nomor telepon, tanpa surel, hal-hal yang normalnya dimiliki orang-orang. Sebulan sekali ia mendatangi kantor jaminan sosial, mengambil gaji pensiunnya untuk bekal hidup menggelandang.

Soal pakaian, Jack hanya punya satu stel, yang menempel dibadan. Celana jeans, kaos henley panjang berkancing tiga, jaket kulit lusuh dan sepatu boots medium. Ia susah dilacak, muncul lalu menghilang. Sesekali ia nongkrong di bar-bar murah, sekedar menenggak sebotol bir dan melahap sepotong sandwich. Ia tak begitu peduli dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang biasa, itu urusan polisi yang remeh baginya.

Berbeda halnya jika ia mengendus kejahatan terjadi disekelilingnya yang dilakukan oleh veteran perang, purnawirawan atau tentara aktif, meskipun perwira tinggi sekalipun, ia akan mengambil tindakan. Tindakan yang tak bisa ia lakukan ketika masih menjadi Komandan Polisi Militer sebab dibatasi oleh kode etik. Ia memutuskan menjadi vigilante, menegakkan hukum dengan caranya sendiri.

Secara mandiri dan penuh perhitungan, ia mampu melakukan penyidikan, pengintaian untuk memastikan kasus bisa dipecahkan dengan tuntas. Bakatnya lengkap dalam investigasi, pelacakan jejak, tukang kepruk yang lincah, penembak jitu, penyamaran, ahli siasat dan didukung dengan karakternya yang tenang. Ia tak segan mengejar target dalam aksi-aksi baku tembak, dengan tujuan menghukum secara langsung ditempat, tanpa keringanan, tanpa angsuran. Meski dalam kehidupan sehari-hari, ia enggan menyimpan sepucuk pistol pun. Ungkapan orang Pati-nya: Marai opo leh, ora penting blas! (Buat apa? Tidak penting sama sekali)

Ia percaya jika oknum tentara memiliki karakter jahat, akan sulit diubah, kuat dan mendarah daging. Apalagi jika si pelaku memiliki spesialisasi khusus sebab ia mantan pasukan elit atau kebetulan seorang perwira tinggi di unit penting di Pentagon, Departemen Pertahanan AS. Mantan perwira yang pensiun di usia 36 tahun itu tak akan memberi ampun jika si pelaku sampai menyakiti warga sipil secara fisik, apalagi sampai melakukan pembunuhan saat menjalankan kejahatannya.

Dalam peradilan militer normalnya jika si pelaku adalah tentara aktif dan tertangkap, mereka nyaris selalu bisa bebas dari sanksi, atau mendapat hukuman yang terlampau ringan setelah diadili oleh komite disiplin atau para hakim mahkamah militer. Tampaknya Jack muak dengan situasi itu. Nalurinya sebagai tentara yang kenyang pengalaman meyakini kondisi itu tak akan membuat si oknum jera, dan akan mengulanginya pada kesempatan lain. Baginya peradilan militer terlalu lunak. Maka sebab alasan itu, jika si pelaku benar-benar sudah keterlaluan, atau melakukan pelanggaran hukum berat, Jack jarang membiarkan tergetnya tetap bernapas. Ia bisa sampai melakukan hal brutal kepada targetnya, dipukuli sampai modar dengan tanpa meninggalkan jejak.

Setelah satu misi tuntas, ia akan menghilang lagi, lalu muncul kembali secara dramatis, jika ia mengendus masalah dan merasa harus turun tangan. Dalam satu adegan, saat ia ditanya junior sekaligus pengganti posisinya di unit Polisi Militer, Mayor Susan Turner (Cobie Smulders). "Kau adalah perwira yang cemerlang, menjadi legenda di tempat ini, kenapa kau keluar?", tanya Susan. Jack menjawab, "Anggap saja saat aku bangun tidur pada suatu pagi, seragamku sudah tak muat lagi", jawabnya enteng sambil cengengesan, lalu ngeloyor pergi.


Sokopuluhan, 10 Syawal 1440.
Penulis adalah Wakil Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Pati