Oleh: Aziz Afifi
pmiigusdur.com - Setelah Mad Solikhin digiring ke tiang gantungan, ia membayangkan pantai nan jauh. Pasir hangat dan kelomang, seperti yang pernah ia kunjungi bersama Wenda Khurosan. Di kepala mereka penuh dengan gelak tawa, bahasa samar serta gelembung coca-cola dingin, penyejuk hari itu. Seolah itulah surga dan Mad Solikhin berharap ada kehidupan mendatang.

Mad Solikhin kini akan berajal, tetapi juga merasakan ajal terasa lama sekali, mengirim kenangan menjadi potongan-potongan dalam kepalanya. Memunculkan berbagai wajah kekasih yang pernah singgah di hatinya, kekasih asing yang tak pernah ia berikan pernikahan. “Wenda, manisku” ketika ia berbicara, aroma amis itu terpantul dari karung penutup kepalanya.

Teringat pula padanya di sebuah ranjang, Wenda sedang menangis. Mad Solikhin menenangkannya, mengusap lengan dan berjanji menikahinya kelak. Tetapi wajah Wenda tetap dingin, sesunggukkan. Wenda perlahan samar, menimbulkan keraguan lalu berganti wajah kekasih lain susul-menyusul. Apakah itu wajah Arora Magnorena. Betulkah ia?  Gadis pengupas mangga saat pelarian di hutan? Mengunyah dengan rasa senang. Wanita yang tak pernah memilihnya, tetapi wajah itu begitu bersedih “Adakah itu ia, atau kau, Wenda?” suara itu terus membentur di kepalanya sendiri “jangan bersedih, sayangku”. Terdengar isak samar. Tetapi Mad Solikhin tak pernah mengerti pasti, untuk siapa kalimat itu.

Wajah manis itu berganti lagi. Wajah milik Mare Alfalea mengambil bagian di kepalanya, dengan cemas menunggunya di terminal, tampak sabar dan memijit-mijit tanganya, mungkin saja beku. Barangkali linu. Memang setelah pukul delapan atau tujuh, cuaca kota menjadi dingin pada bulan Juni begini, musim pancaroba mendekat bersama perayaan nelayan pribumi. Tetapi Mare hanya memakai kemeja hitam, pakaian favorit Mad Solikhin.

“Orang-orang sudah masuk liang kasur, mungkin juga telah encok, tetapi lihatlah dirimu dan aku sekarang, di terminal! Mungkin sebetar lagi aku mati beku” protes Mare dengan suara keras, namun tatapannya lebih.

Mad Solikhin tertawa, kemudian ia mengingat sebuah rencana di dalam bus. “Mari mabuk! katanya spontan, suaranya tinggi dibarengi tersedak, mungkin tertawa telah membuat tenggorokan tidak siap menerima suara tinggi itu.  Mare mengangguk, hanya itu yang ia bisa lakukan untuk menghibur kekasinya yang terlihat kumal. Saat menuju losmen, ada empat botol yang ia beli. Malam berjalan sewajarnya, ditambah empat botol. Sekarang losmen akan terasa hangat.

“Empat botol tidak akan mengubah apapun” kata Mad Solikhin protes.

“Seperti revolusimu” sergah Mare.

“Barangkali benar, tetapi aku mendengar suara wanita tua kesal sekarang.” Mare memukul pundaknya kemudian bersikap manja seolah anak kucing.  

Satu, dua, tiga teguk, dan beberapa teguk berikutnya. Kepala mereka terasa berat dan pada saat itulah bualan-bualan itu tumbuh. Mare melihat wajahnya, Mad mencurigai pandangan Mare. Mungkin saja ia melihat wajahnya memerah, seperti wajah bayi. Baragkali ia melihat bekas kecupan di pipinya, lipstik perempuan lain yang tertinggal. Namun ia tidak ingin menyerah, tidak ingin terlihat mabuk secepat ini, juga tidak ingin Mare menyelidik lebih dalam. Ia tuang kembali, tetapi tanganya gemetar, ia semakin merasakan dirinya terpojok sekarang.

“Aduh adik manis, wajahmu sudah memerah” senyum Mare terus mengembang menggoda. Kemudian ia teguk minuman satu gelas dalam satu tegukan. Mare masih tersenyum. Ia terus menuang kembali minumannya dan memperlihatkan ketersinggungannya.

“Seperti hanya perlawan ini, semua tidak boleh dihentikan begitu saja” katanya mebela diri, sambil meneguk dengan cepat. Mare masih menggodanya. Menatap tajam. Ia melihat mata itu, coklat tua, ada ia di dalamnya. Tetapi Mad Solikhin hanya lelaki berambut acak-acakan dan kurang sehat. Lelaki tua, dua kali lipat usia Mare. Namun Mare terus menggoda dengan sebutan adik bayi.

Kendaraan di luar mulai sepi. Mare dan ia terus menenggak satu per satu minumannya. Pelan semakin pelan. Wajah Mare memerah dan jatuh di pundaknya. Beberapa helai rambut gadis itu tergerai, menutupi bagian wajah manisnya. Ada rasa hangat di dalam hati Mad Solikhin kini. Sekarang gadis itu benar-benar terlelap di pundaknya, bahkan napasnya terdengar begitu ringan, seolah hidupnya begitu gembira.

“Pernahkan ia berpikir tentang harga-harga yang melonjak naik, orang yang terus diperas dan, dan…hidup yang tetap susah payah diperas, untuk jadi lebih baik” pikirnya.

Ketika ia merasakan lelah, kepala Mare ia biarkan terkulai jatuh, namun gadis itu menggeliat, seolah penolakan dan kembali tertidur ke pundak Mad. Mad Solikhin hanya bisa menatapnya sekarang, lama sekali bersama rasa pegal. Ia pernah melakukan sebuah tatapan serupa, penuh pegal, saat di dalam hutan, di malam gelap. Saat tentara negara memaksanya terus terjaga semalaman.

Pemberontakan itu telah gagal, kawan-kawannya tertangkap. Yang tersisa adalah beberapa komplotan termasuk dirinya. Hanya hutan di sebelah utara sungai Malela tempat terbaik sembunyi juga tempat berbiak bagi para buaya muara. Sebab itu, Mad memilih berjaga semalaman. Namun sekarang ia di losmen, bersama kekasihnya yang entah ke berapa. Setelah sembunyi-sembunyi merangkak, berlari dan berhasil mengirim sebuah surat ke Mare.

“Kau masih terjaga?” suara Mare memotong lamunannya. Ia tersenyum kecil. Lalu gadis yang lebih muda darinya itu membalas, sembari mengangkat kepala dari pundak Mad Solikhin. Sontak ia segera berdiri, sembari melepas pegal, menggerakkan gerakan dalam lingkaran kecil bahunya, melangkah menuju jendela. Melihat bangunan-bangunan yang mulai terang, namun masih sepi. Perlahan cahaya menyentuh wajahnya, sembari mengatakan kepada Mare ia mengingat padang pinus dan semak-semak yang mulai terang. Lalu rasa tenang hinggap di dadanya, mungkin juga kawan-kawannya seperti pagi itu.

Mare masih mengantuk, tetapi ia menanggapi dengan sekenanya. “Kau melihatku juga?” suara itu datang seperti nada merajuk.

“Iya, ada burung merak”

“Apakah ia cantik sepertiku?”

“Tidak, hanya saja…” ada keraguan dalam hati Mad Solikhin saat mengatakan itu, dan kalimat tak selesai itu memang tidak pernah selesai. Ia melihat Mare seperti merak, kadang lebih.

“Bukankah itu bagian terang yang manis?” Mare menunjuk cahaya yang membagi bangunan di depan jendela, menjadi bagian gelap dan terang. Seolah sebuah negara yang menciptakan batas dengan tegas antara rakyat dan penguasanya.

“Kupikir kau benar, manis, hanya saja…” tatapan Mad Solikhin berpaling ke arah Mare. Sekarang ia mengerti bahwa ada bagian terang yang lebih besar sekarang. Bagian wajah Mare, mengingatkannya tentang daun dan pohon-pohon di hutan berangsur berwarna, jelas, lalu membuatnya mengantuk.

“Maaf Mare, aku mengantuk. Kurasa aku akan berangkat tidur” ucap Mad Solikhin bersamaan para algojo menarik tuas tiang gantungan.

2019-2020

Editor: Eykaz - Ilustrasi: pmiigusdur.com