Ilustrasi Pembangunan Infrastruktur: pixabay

Awal tahun 2023 menandai tahun kesembilan kepemimpinan resmi Joko Widodo, dimulai pada 20 Oktober 2014. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terdiri dari dua periode kepresidenan, yakni periode pertama (2014-2019) bersama Muhammad Jusuf Kalla dan periode kedua (2019-2024) bersama Ma’ruf Amin. Periode kedua pemerintahan Jokowi kini tersisa kurang dari satu tahun. Terdapat sejumlah catatan kritis terhadap rezim Jokowi, mencakup isu Hak Asasi Manusia (HAM), pemberantasan korupsi, penegakan hukum, hingga perlindungan lingkungan hidup.

Jokowi memulai masa kepemimpinannya dengan semangat "Kerja, kerja, kerja!"—suatu jargon sederhana yang mengekspresikan arti kerja keras, persatuan, dan gotong royong untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang berdikari (berdiri diatas kaki sendiri). Indonesia yang berdikari, dengan berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, seperti yang tergambar dalam visi-misi "Jalan Perubahan untuk Indonesia Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian," merujuk pada konsep Trisakti Bung Karno. Visi-misi ini kemudian dijabarkan dalam dokumen Nawacita I (periode pertama) dan Nawacita II (periode kedua) kepemimpinan Jokowi, yang terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan 2020-2024.

Salah satu dari sembilan program perubahan (Nawacita) yang ditekankan oleh Jokowi adalah peningkatan produktivitas dan daya saing di pasar internasional. Program ini merangkum janji politik terkait pembangunan infrastruktur dan kemudahan perizinan investasi, seperti pembangunan jalan sepanjang 2000 kilometer, 10 bandara baru, 10 pelabuhan baru, 10 kawasan industri, dan percepatan perizinan investasi. Meskipun terdapat delapan program perubahan lainnya, pembangunan infrastruktur tampil sebagai fokus utama selama dua periode pemerintahan Jokowi. Seiring dengan percepatan pembangunan infrastruktur, terjadi pelonggaran regulasi dan percepatan untuk memudahkan investasi, yang juga membawa sejumlah tantangan dalam bidang hukum, sosial, dan lingkungan hidup. 

Proyek Strategis Nasional: Rezim Pembangunan Ala Jokowi

Salah satu prestasi utama rezim Jokowi yang terus mendapat sorotan adalah akselerasi pembangunan proyek infrastruktur berskala besar. Keberhasilan ini sering dianggap sebagai pencapaian terbesar dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Proyek-proyek infrastruktur prioritas di era Jokowi dikenal sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Dengan lebih rinci, PSN diidentifikasi sebagai serangkaian proyek infrastruktur yang dianggap strategis untuk pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, dan pembangunan daerah.

Secara substansial, PSN ini memperlihatkan kesamaan dengan proyek skala besar di masa lalu, seperti proyek mercusuar pada era Soekarno, mega proyek pada masa Soeharto, hingga Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. Semua mega proyek dari satu rezim ke rezim berikutnya menghabiskan dana dalam skala besar, mengalokasikan ruang yang luas, dan membawa risiko finansial, lingkungan, serta sosial dalam proporsi yang sama besar. Dalam implementasinya, semua mega proyek ini juga melibatkan penggunaan utang dalam skala besar. Pendanaan proyek infrastruktur skala besar di masa lalu umumnya bersifat langsung, sedangkan pada era PSN Jokowi, diterapkan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Skema KPBU yang melibatkan sektor swasta mendorong liberalisasi dengan memberikan konsesi jangka panjang.

PSN tidak hanya terbatas pada proyek infrastruktur semata, tetapi juga melibatkan proyek-proyek dalam sektor energi, pangan, ketenagalistrikan, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Klasifikasi proyek sebagai PSN dalam praktiknya cenderung longgar dan tidak terikat pada kriteria dasar, operasional, dan strategis. Fleksibilitas ini membuka peluang bagi campur tangan investor atau korporasi untuk mengintervensi kategorisasi proyek sebagai PSN demi meraih keuntungan langsung, seperti kelonggaran regulasi, jaminan keamanan sebagai obyek vital nasional, hingga jaminan kelangsungan proyek.

Ekonomi Politik Proyek Strategis Nasional

Dalam proses klasifikasi proyek sebagai PSN, aspek prosedural menjadi kunci, memerlukan kriteria ketat yang mencakup konsistensi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMN/RPJMD), Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), dampak positif terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, serta kajian pra studi kelayakan. Secara legal, proyek PSN juga harus terdaftar dalam Peraturan Presiden (Perpres). Peraturan pertama mengenai percepatan proyek strategis nasional diatur melalui Perpres Nomor 3 Tahun 2016.

Namun, pada realitasnya, prosedur klasifikasi PSN yang mencakup elemen dasar, strategis, dan operasional, sering kali diabaikan. Beberapa proyek diklasifikasikan sebagai PSN meskipun tidak terintegrasi dalam perencanaan pembangunan dan tata ruang, seperti kasus Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo Yogyakarta. Meskipun awalnya tidak diakomodasi dalam RTRW Yogyakarta, RTRW kemudian disesuaikan untuk mendukung keberadaan PSN setelah adanya gugatan. Begitu pula pada kasus Bandara Kertajati Majalengka Jawa Barat, proyek tersebut dipertanyakan kelayakan unsur operasionalnya. Bandara tersebut tetap dibangun meski ditentang masyarakat sekitar dan tidak layak secara skema bisnis. Terdapat pula proyek-proyek yang dipaksakan menjadi PSN, meskipun setelah kajian mendalam, tidak memenuhi kriteria klasifikasi PSN secara prosedural.

Dalam konteks ini, terdapat kepentingan ekonomi politik dari sekelompok elite dalam proyek strategis nasional. Kepentingan tersebut seringkali memiliki pengaruh besar terhadap regulasi dan perencanaan pembangunan. Pengkondisian regulasi, termasuk PSN, dapat mengubah lanskap perizinan dan perencanaan tata ruang menjadi lebih sentralistik. Kebijakan daerah harus menyesuaikan dan mengakomodir PSN, bahkan dengan revisi RTRW yang dapat terjadi dalam periode sangat pendek. Hal ini disebabkan Inkonsistensi dasar hukum regulasi terkait PSN yang awalnya diatur oleh Perpres, tetapi kemudian beralih menjadi Peraturan Menteri Koordinator (Permenko), serta perubahan daftar PSN yang sering terjadi, menciptakan kerumitan hukum dan administratif.

Pertanyaan mendasar muncul: Siapa yang sebenarnya mendapat manfaat dari lebih dari 200 proyek dan 12 program strategis nasional dengan nilai investasi lebih dari 5.746 triliun rupiah? Apakah masyarakat atau justru sekelompok elite? Catatan selama enam tahun era PSN Jokowi mencatat keuntungan besar bagi korporasi besar yang dimiliki oleh kelompok elit (oligarki). Misalnya, MNC Group mendapatkan persetujuan untuk membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lido Sukabumi dengan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal yang menguntungkan. Kawasan industri milik Wilmar Group, sebuah korporasi sawit raksasa, juga mendapatkan status PSN, meskipun dalam catatan advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terdapat dugaan keterlibatan dalam kejahatan lingkungan, seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan pencemaran limbah. Pada PSN lain, beberapa proyeknya ada yang melibatkan korporasi dan konglomerat yang terlibat dalam praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), seperti dalam kasus PLTU Cirebon, Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD), dan proyek PSN lainnya. Keseluruhan, perlu dilakukan evaluasi mendalam terkait proses, dampak, dan keadilan distribusi manfaat dari pelaksanaan proyek strategis nasional ini.

Menggugat Dalih Pemerataan dan Kesejahteraan Rakyat

"Pertama, Pembangunan infrastruktur akan terus kita lanjutkan. Infrastruktur yang besar-besar sudah kita bangun. Ke depan, kita akan lanjutkan dengan lebih cepat dan menyambungkan infrastruktur besar tersebut, seperti jalan tol, kereta api, pelabuhan, dan bandara dengan kawasan-kawasan produksi rakyat. Kita sambungkan dengan kawasan industri kecil, sambungkan dengan Kawasan Ekonomi Khusus, sambungkan dengan kawasan pariwisata. Kita juga harus menyambungkan infrastruktur besar dengan kawasan persawahan, kawasan perkebunan, dan tambak-tambak perikanan." Pidato Jokowi, Visi Pembangunan Indonesia, 14 Juli 2019.

Rezim Jokowi dengan tegas menggarisbawahi pentingnya PSN sebagai solusi untuk mewujudkan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah merespons ketidakseimbangan ekonomi yang terjadi akibat disparitas infrastruktur antara wilayah Jawa dan non-Jawa. Sayangnya, implementasi PSN sebagai alat pemerataan dan kesejahteraan rakyat belum sepenuhnya mencapai tujuan yang diinginkan. Sebaliknya, distribusi program dan proyek PSN masih menunjukkan ketidaksetaraan antara Pulau Jawa dan luar Jawa. Menurut data dari WALHI Nasional yang merinci Perpres 109 Tahun 2020 tentang Percepatan PSN, dari total 211 program dan proyek, 33% di antaranya terpusat di Jawa. Sementara itu, hanya 20% proyek yang tersebar di Sumatera, 10% di Sulawesi, 10% tersebar nasional, 9% di Bali Nusa Tenggara, 8% di Kalimantan, dan 4% di Maluku Papua. Secara proporsional, proyek strategis nasional paling banyak berfokus di Jawa, yang pada akhirnya mengurangi keberlanjutan lingkungan dan meningkatkan risiko bencana ekologis di pulau tersebut.

Program dan proyek strategis nasional juga belum membuktikan kemampuannya dalam menanggulangi masalah kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, beberapa proyek infrastruktur PSN dalam beberapa kasus telah merugikan sumber penghidupan masyarakat, seperti pembangunan PLTA Poso, NYIA, dan Bendungan Bener. Dampaknya bukan kesejahteraan, melainkan penderitaan dan kemiskinan bagi warga yang terdampak. Ironisnya, kehadiran PSN tampaknya lebih menguntungkan sejumlah korporasi ketimbang memajukan kesejahteraan rakyat. Riset WALHI tahun 2021 dengan judul "Analisis Pengaruh Rencana Pembangunan Proyek Prioritas Jalan Trans Papua (MP-31) terhadap Aspek Sosial-Ekologis Papua" menunjukkan bahwa 39 perusahaan mendapatkan keuntungan maksimal dari PSN Jalan Trans Papua MP31, padahal sebagian besar dari mereka terlibat dalam penghancuran ekosistem Papua. Sementara itu, Orang Asli Papua (OAP) hanya mendapatkan manfaat yang minim dari pembangunan jalan tersebut.

Kriminalisasi, Pelanggaran HAM, Bencana, dan Konflik Sosio-Ekologis

Pemerintah terus menerapkan PSN di berbagai daerah dengan cara merampas tanah rakyat, menggunakan kekerasan, intimidasi, dan represi. PSN yang seharusnya memenuhi kebutuhan rakyat, pada kenyataannya justru membatasi kesempatan rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup mereka sendiri. PSN seolah hadir semata-mata untuk kepentingan korporasi swasta dan korporasi negara dengan legitimasi dari pemerintah. Perlawanan terhadap berbagai PSN yang merambah ke wilayah kampung masyarakat adat dan lokal seringkali dihadapi dengan stigmatisasi, intimidasi, kriminalisasi, dan pengerahan aparat keamanan secara berlebihan.

Kehadiran mega infrastruktur PSN dari pusat ke daerah mengakibatkan kerusakan signifikan pada aspek kultural, ekonomi lokal, dan kehidupan sosial warga. Di Sumatera Barat, Jalan Tol Sumbar-Riau bahkan mengancam untuk menggusur makam leluhur warga. Mega proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) juga memberikan dampak negatif pada warga lokal dan masyarakat adat di sekitarnya. Proyek Food Estate, yang sudah terbukti gagal, terus dilanjutkan dengan dalih ketahanan pangan, padahal proyek ini menyebabkan deforestasi, kerusakan lahan gambut, dan hilangnya benih lokal serta kemampuan bercocok tanam tradisional.

Kedatangan PSN berlangsung mendadak dan tiba-tiba. Hampir tidak ada partisipasi bermakna dan hak untuk menolak adanya proyek. Contohnya, dalam kasus penolakan proyek geothermal di Gunung Talang, perlawanan terhadap penggunaan alat berat di lokasi PSN menyebabkan beberapa warga menghadapi kriminalisasi. Akibatnya, terjadi pembelahan sosial antara warga, tokoh adat, dan pejabat desa.

Sementara itu, percepatan pembangunan PSN juga menimbulkan dampak sosial dan ekologis di wilayah tapak proyek dan lanskap ekologis secara umum. Sebagai contoh, proyek Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) berdampak pada perubahan fungsi lahan pertanian produktif di Temon, Kulon Progo. Proyek Bendungan Bener di Purworejo menimbulkan konflik sosial ekologis pada warga Wadas yang terdampak proyek penambangan material bendungan. Dalam kasus pembangunan proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), WALHI mencatat kurangnya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDL), yang diselesaikan dalam waktu kurang dari dua minggu. Proyek ini juga tidak sesuai dengan RTRW, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi lokasi proyek. Proyek KCIC dituduh menjadi penyebab banjir dan longsor di wilayah Bekasi dan Bandung Barat akibat perubahan signifikan dalam bentang alam.

 

Penulis: Abdul Ghofar

Editor: Ropip